Category Archives: FIQIH JIHAD

HUBUNGAN ERAT ANTARA TERORISME DAN PEMIKIRAN TAKFIR

MELURUSKAN PAHAM TAKFIR

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Para ulama Ahlus SUNNAH wal Jama’ah menjelaskan di dalam kitab-kitab Aqidah Dan Manhaj mereka maupun melalui ceramah-ceramah mereka bahwa tersebarnya pemikiran Dan gerakan TERORISME di negeri-negeri kaum muslimin sepanjang sejarah Islam memiliki sebab-sebab, Dan diantara sebabnya yang paling utama adalah SIKAP EKSTRIM DALAM MASALAH TAKFIR (mengkafirkan seorang Muslim, baik rakyat maupun pemerintah).

Oleh karenanya, hampir-hampir dapat dipastikan bahwa tidaklah seorang Muslim melakukan aksi TERORISME (radikalisme), baik dengan pembunuhan, pengeboman, pemberontakan terhadap pemerintah, perampokan Dan semisalnya melainkan ia memiliki sikap EKSTRIM dalam masalah TAKFIR. Dengan pemahaman TAKFIRNYA tersebut ia menganggap dirinya sedang menegakkan amar ma’ruf Dan nahi mungkar, serta merasa sedang berjihad di jalan Allah yang belasannya adalah masuk Surga. Baca lebih lanjut

HUKUM MENGGELARI ORANG YANG GUGUR DI MEDAN JIHAD SEBAGAI ‘ASY-SYAHID’

Oleh : Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin ditanya,

“Apakah boleh menggunakan kata “Syahid” atas seseorang, dikatakan, “Asy-Syahid fulan”?”

Jawaban:

Kita tidak boleh memberi kesaksian bagi siapapun bahwa ia syahid, hingga walaupun orang tersebut terbunuh secara zhalim atau terbunuh karena membela diri. Kita tidak boleh mengatakan fulan syahid. Ini berbeda dengan orang-orang pada hari ini. Mereka mudah memberi kesaksian. Mereka menyebut setiap orang yang terbunuh hingga walaupun seseorang terbunuh karena fanatisme jahiliah, mereka menyebutnya syahid. Ini haram; karena perkataan kamu tentang seseorang yang terbunuh bahwa ia syahid merupakan kesaksian yang kelak akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat. Kamu akan ditanya apakah kamu memiliki bukti bahwa ia terbunuh dengan syahid?

Karena itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tidaklah seorang terluka di jalanAllah –Wallahu a’lam dengan orang yang terluka di jalan Allah- kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan wanginya wangi misk” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah, Al-Bukhari: 2803, Muslim: 1876.)

Perhatikan perkataan Nabi “Wallahu a’lam dengan orang terluka di jalan Allah”. Sesungguhnya sebagian orang terkadang secara lahir memang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, akan tetapi Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hatinya. Apa yang tersembunyi di hatinya kadang berbeda dengan apa yang nampak dari perbuatannya. Karena itu Imam Al-Bukhari membuat bab tentang masalah ini dalam kitab shahihnya, ia berkata, “Bab tidak boleh dikatakan fulan syahid” sebab pusat kesaksian ada dalam hati dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang ada dalam hati kecuali Allah ‘azza wa jalla.

Niat adalah perkara besar. Berapa banyak dua orang yang mengerjakan satu perbuatan yang sama namun antara keduanya seperti langit dan bumi disebabkan karena niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّياَتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَر إِلَيْهِ

“Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya, sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrah kepada dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan” (Muttafaq ‘alaih, dari hadits Umar, Al-Bukhari: 1, Muslim: 1907)

Pertanyaan Lain Sehubungan dengan Permasalahan Ini

Apa hukum ungkapan “fulan syahid”?

Jawaban:
Memberi kesaksian kepada seseorang bahwa ia mati syahid terjadi pada dua bentuk:

Pertama, diikat dengan sifat seperti ungkapan “Setiap orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang terbunuh mempertahankan hartanya adalah syahid[1], orang yang mati terkena wabah tha’un adalah syahid[2] dan yang serupa ini. Kesaksian dalam bentuk ini hukumnya boleh, seperti yang terdapat dalam nash-nash, karena dengan begitu kamu bersaksi dengan sesuatu yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang kami maksud dengan boleh adalah tidak terlarang, walaupun padahal bersaksi dengan hal itu sebetulnya wajib dalam rangka membenarkan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, diikat dengan seorang tertentu seperti kamu berkata bahwa seseorang tertentu mati syahid. Ini tidak boleh kecuali bagi orang yang telah diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau sesuai dengan kesepakatan ummat.

Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab, “Bab tidak dikatakan fulan syahid”. Berkata dalam Fathul Bari (6/90) “Maksudnya dengan kepastian, kecuali hal itu ditetapkan oleh wahyu” sepertinya beliau memberi isyarat kepada hadits Umar, suatu hari ia berkhutbah,

“Kalian mengatakan dalam peperangan kalian fulan syahid, dan meninggal fulan dengan syahid, mungkin saja ia telah menindas tunggangannya. Sekali-kali tidak, janganlah kalian mengatakan itu! Akan tetapi katakanlah seperti apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Barang siapa yang mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid’.”

(Hadits ini hasan dikeluarkan Imam Ahmad, Sa’id bin Manshur dan yang lainnya dari jalan Muhammad bin Sirin dari Abu Al-’Ujfa’ dari Umar).

Kesaksian terhadap sesuatu dilakukan atas dasar ilmu. Syarat seseorang mati dalam keadaan syahid adalah ia berperang dengan niat meninggikan kalimat Allah, dan ini adalah niat batin yang tidak bisa diketahui, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepada hal itu dengan sabdanya, perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih mengetahui dengan orang yang berjihad di jalan-Nya”. Juga bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يَكْلُمُ أَحَدٌ فِي سَبِيْل اللهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يَكْلُمُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْلَوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالِّريْحُ رِيْحُ الْمِسْكِ

“Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah, dan Allah mengetahui siapa orang yang terluka di jalan-Nya, kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah warnanya warna darah dan wanginya wangi misk” diriwayatkan Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah.

Kemudian orang-orang yang secara lahir memang memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia syahid namun kita tidak memberi kesaksian bagi orang tersebut dan kita juga tidak berburuk sangka.

Berharap adalah keistimewaan di antara dua keistimewaan, akan tetapi kita memperlakukan orang yang mati tersebut di dunia berdasarkan hukum para syuhada. Jika ia terbunuh ketika berjihad di jalan Allah, ia dikuburkan dengan darah yang berlumuran pada pakaiannya dan tanpa dishalatkan. Sedangkan para syuhada karena sebab yang lain selain jihad, maka ia harus dimandikan, dikafani dan dishalatkan.

Jika kita memberi kesaksian bagi pribadi tertentu bahwa ia syahid, maka dengan itu kita berarti telah memberinya kesaksian bahwa ia akan masuk surga; dan masalah ini menyelisihi apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah. Mereka tidak memberi kesaksian dengan surga kecuali orang yang diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik dengan sifat atau orang tertentu, dan sebagian Ahlus Sunnah berpendapat boleh memberi kesaksian orang yang disepakati mendapat pujian ummat. Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu ta’ala.

Dengan semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa kita tidak diperkenankan memberi kesaksian bagi seseorang pun bahwa ia mati syahid, kecuali berdasarkan nash dan kesepakatan. Akan tetapi orang yang secara lahir memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia mendapatkan syahid sebagaimana penjelasan yang lalu, ini sudah cukup sesuai bagi kedudukan yang dimilikinya sedangkan ilmu tentangnya ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

CATATAN KAKI:

[1] Shahih, dikeluarkan Abu Daud: 4772, At-Tirmidzi: 1421, An-Nasa’i: 7/115 dari Sa’id Bin Zaid, At-Tirmidzi berkata, hasan shahih. Hadits ini juga memiliki syahid riwayat Muslim: 140 dari Abu Hurairah.

[2] Muttafaq ‘alaih, Al-Bukhari: 5732, Muslim 1916 dari Anas, Al-Bukhari: 2829, Muslim: 1914 dari Abu Hurairah, juga dikeluarkan Al-Bukhari dari Aisyah: 5734, Muslim: 1915 dari Abu Hurairah. Lihat Fath al Bary: 10/194.

[3]Dikeluarkan Al-Bukhari: 2787 dari Abu Hurairah, di riwayat Muslim: 1878 ada hadits dengan tanpa lafadz “Wallahu a’lam dengan orang yang berjihad di jalan-Nya”

(Sumber: Al-Manahil Lafzhiyah)

TERORISME, SEBAB-SEBAB DAN PENANGGULANGANNYA SERTA SIKAP SEORANG MUSLIM DALAM MENGHADAPI FITNAH ZAMAN

Oleh: Syaikh DR Sholeh bin Sa’ad As-Suhaimi Al-Harbi

Segala puji hanya milik Allah Yang Maha Esa, semoga shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tiada lagi Nabi sesudahnya.

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa ta’ala telah memuliakan kita dengan kemuliaan yang terbesar yaitu dengan mengutus NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Dia mengeluarkan kita dari beragam kegelapan kepada Cahaya (Islam), menjadikan kita mulia setelah kehinaan dan menyatukan kita setelah perpecahan serta menjadikan kita bersaudara karena iman kepadaNya yang saling cinta dan menyatu. Seseorang tidak memiliki keutamaan atas yang lainnya kecuali dengan ketaqwaan, Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa”. [Al-Hujurat : 13]

Demikian pula Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman sembari menganugrahkan kepada kita ni’mat ini dan mengingatkan kita pada kondisi kita sebelum kedatangan Islam

”Artinya : Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali(agama) Allah semuanya dan janganlah kalian bercerai berai”.[Ali-‘Imran : 103]

Kaum muslimin hidup dalam ni’mat yang besar ini pada zaman Rasulullah dan mereka sangat bergembira, hingga munculnya “cikal bakal” perselisihan tatkala Abdullah bin Saba (seorang yahudi asal Yaman yang berpura-pura masuk Islam,-pent.) dan para pengikutnya mengumpulkan manusia untuk memberontak kepada Khalifah Utsman bin Affan. Dan sebelumnya telah muncul pula benih “Khawarij” yang diawali dengan penentangan Dzul Khuwaisirah at-Tamimi terhadap pembagian harta rampasan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seusai perang Hunain yang mana dia berkata : “Berlaku adillah wahai Muhammad karena sesungguhnya engkau tidak berlaku adil!”, dia juga mengatakan : ”Pembagian itu tidak diinginkan untuk Wajah Allah”, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :

”Celaka engkau ! , siapa lagi yang berlaku adil jika aku tidak berbuat adil?” tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku dipercayakan oleh Dzat yang di atas (yaitu Allah, -pent.)?.

Tatkala ‘Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu ingin membunuhnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

”Artinya : Biarkan dia! Karena sesungguhnya akan keluar dari keturunannya suatu kaum yang mana kalian merasa kecil/hina shalat kalian jika dibanding dengan shalat mereka,puasa kalian dengan puasa mereka, mereka membaca al Qur’an namun tidak melampaui kerongkongan mereka, mereka membelot dari Agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya”.

Kemudian dikobarkanlah fitnah itu terhadap Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah saya isyaratkan di atas yang disebabkan oleh karena tahazzub (terjadinya kelompok-kelompok) dan penentangan yang bermaksud untuk menimbulkan fitnah, perpecahan dan memukul Islam pada sasarannya. Dan api fitnah itu semakin berkobar setelah terbunuhnya Dzun-Nurain al Khalifatur Rasyid Utsman bin Affan.

Lalu urusan ini semakin besar dan meluas, timbul berbagai fitnah dan kelompok-kelompok pun bermunculan, induknya adalah kelompok khawarij yang telah membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, menghalalkan darah-darah dan harta benda kaum muslimin, menakut nakuti di jalanan mereka dan memerangi Allah dan RasulNya. Maka Ali-pun menumpas fitnah mereka dan beliau menjumpai mayat “Dzul Khuwaishirah” ada di antara mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Kemudian mereka menyusun taktik untuk membunuh sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu . Fitnah mereka masih saja berkelanjutan sampai hari ini, sesekali tampak dan sesekali padam, hingga akan keluar orang yang terakhir dari golongan mereka bersama dajjal, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di zaman ini, Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada negeri kita (Saudi Arabia) “seekor elang” jazirah Arab yaitu Raja Abdul Aziz (semoga Allah menghiasi kuburnya dengan kebaikan), maka Allah pun mengumpulkan dengan perantaraannya umat ini yang telah berabad-abad terpecah-belah, dikuasai oleh peperangan, kebencian dan hal-hal yang mencerai beraikan mereka. Demikian pula mereka telah diliputi kejahilan, dikuasai fanatisme kesukuan dan banyak orang yang telah kembali kepada kesyirikan serta pelaksanaan hukum rimba yang mana seorang yang kuat memangsa yang lemah. Lalu Allah mentakdirkan (kelahiran) panglima yang sulit dijumpai tandingannya dan menyatukan ummat (di negeri ini) di bawah bendera tauhid. Maka tersebarlah keamanan dan kemakmuran, berkembanglah ilmu agama dan tersingkaplah gelapnya kejahilan serta tersebarlah persaudaraan Islam yang dibangun di atas tauhid kepada Allah dan berjalan di atas petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Selanjutnya Raja Abdul Aziz menancapkan tiang-tiang penyangga bagi negeri yang baru lahir ini, kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya yang datang sesudahnya, mengikuti langkah-langkah ayah mereka, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala mereka menjalankan hukum Allah dalam setiap masalah yang besar dan yang kecil. Maka merebaklah keamanan, kebaikan dan kemakmuran di bawah naungan Syari’at Islam, dan jadilah penduduk negeri ini ibarat seorang yang memiliki hati yang satu, baik pemimpin maupun rakyat yang dipimpin. Para pemuda memiliki hubungan yang kokoh dengan para ulama dan pemimpin mereka. Mereka ibarat satu jama’ah dan tidak berkelompok-kelompok, satu manhaj (jalan) dan terbagi-bagi menjadi beberapa manhaj, mereka berada dalam kondisi persatuan yang kuat yang jauh dari sikap guluw (berlebih-lebihan) dan sikap tafrith (menggampangkan/ meremehkan). Apa yang kami ungkapkan di atas sangat tampak dengan jelas pada kurikulum-kurikulum pelajaran yang menanamkan prinsip yang wasath (menengah) ini yang diajak oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang difirmankan Allah ;

”Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat yang wasath” [Al Baqarah : 143]

Artinya wasath yang adil dan terpilih di antara umat-umat. Sehingga negeri ini menjadi contoh dalam menempuh jalan yang menengah ini, antara yang melampaui batas dan yang cenderung melecehkan.

Pada akhir-akhir ini telah bermunculan berbagai suara, tulisan, seminar dari sebagian “manusia-manusia kerdil” yang mengajak orang-orang yang berpikiran pendek kepada pembentukan partai-partai, kelompok-kelompok kecil dan merapuhkan tonggak-tonggak kekuatan umat dengan mengajak kepada pemisahan diri dari jama’ah yang haq dan bergabung dalam jama’ah-jama’ah hizbiyyah yang sempit yang mengajak kepada sikap ekstrimisme dan melampaui batas dengan berbagai cara yang jitu dan penipuan sehingga mengakibatkan keretakan dalam barisan umat ini.

Para penjaja pemikiran ini telah menempuh berbagai cara dalam memberikan kepuasan kepada para pemuda kita terhadap pemikiran khawarij tersebut yang dengannya telah memberikan peluang kepada musuh-musuh Islam untuk memancing di air yang keruh dengan slogan-slogan hak asasi manusia dan mengajak kepada perubahan kurikulum pendidikan dengan dakwaan bahwasanya kurikulum-kurikukum itulah yang menjadi sebab timbulnya ekstrimisme dan sikap melampaui batas dari beberapa kelompok dan individu.

Dalam menjajakan pemikiran ini para penjajanya telah mengupayakan beragam cara, sebagai berikut :

[1]. Menggampangkan urusan dakwah kepada tauhid dengan dakwaan bahwasanya masalah Aqidah adalah masalah yang telah dimaklumi oleh semua orang dan dapat dipahami dalam waktu sepuluh menit sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian orang di antara mereka, bahkan mereka mundur dari menjadikan aqidah yang benar sebagai asas dengan alasan bahwa hal itu akan memecah belah umat.

[2]. Mengumpat para ulama umat dan menggalakkan agar tidak banyak mengambil ilmu mereka serta mencemarkan nama baik mereka dengan dakwaan bahwa mereka tidak memahami realita umat dan mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam menyelesaikan problematika umat serta kebangkitannya.

[3]. Upaya menjauhkan mayoritas generasi muda dari ilmu-ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyibukkan mereka dengan nasyid-nasyid yang menimbulkan semangat dan disebarkan dimana-mana melalui media informasi yang bisa dibaca,dilihat dan didengar.

[4]. Mengurangi kredibilitas para penguasa dan menampakkan berbagai cacat mereka atau hal-hal yang dianggap cacat oleh mereka dari mimbar-mimbar atau melalui satelit serta menta’wilkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah yang memerintahkan untuk taat kepada penguasa bahwa yang dimaksud oleh nash-nash itu adalah imam agung/khalifah kaum muslimin. Mereka lupa atau pura-pura lupa apa yang telah disepakati/ijma’ ulama muslimin bahwasanya dalam kondisi negeri muslim terpisah-pisah menjadi beberapa bagian maka setiap negeri melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing terhadap pemimpinnya. Dengan demikian diwajibkan untuk taat kepadanya dalam hal yang ma’ruf dan diharamkan memberontak kepadanya selama dia menjalankan hukum Allah terhadap rakyatnya, ini merupakan masalah yang telah disepakati oleh seluruh ulama muslimin.

[5]. Menarik/mendatangkan para analisis yang mengajak manusia kepada pemikiran khawarij dengan mengumpulkan para kawula muda untuk dicuci otak-otak mereka pada pertemuan-pertemuan tertutup yang diadakan pada acara-acara kemping atau rekreasi. Mereka fokuskan pembicaraan mereka pada upaya memisahkan generasi muda dari ulama dan penguasa mereka dan mengikat mereka dengan orang-orang tertentu yang menjadikan gerakan melawan penguasa dan pentakfiran sebagai manhaj/jalan hidup mereka.

[6]. Mengajak kepada jihad yang mereka artikan dengan pemahaman mereka sendiri yaitu menghalalkan darah-darah dan harta benda kaum muslimin serta menganjurkan untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis, pemboman, penghancuran jembatan-jembatan dan pengrusakan harta benda dengan dakwaan bahwasanya negeri-negeri muslimin sebagai negeri yang boleh diperangi sehingga wajib berperang padanya. Mereka menyebarkan pemikiran ini melalui nasyid-nasyid, bahkan sampai pada pengadaan berbagai latihan terhadap anak-anak muda dalam penggunaan beragam persenjataan di tempat-tempat yang jauh dari pandangan/pantauan orang banyak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

[7]. Pembagian berbagai kitab, bulletin, selebaran dan kaset-kaset yang mengajak kepada pemikiran khawarij dan pengkafiran kaum muslimin apalagi terhadap para ulama dan penguasa, dan kami akan sebutkan sejumlah kitab-kitab yang mengajak kepada pemikiran pengkafiran kaum muslimin tersebut, sebagai berikut :

[Karya-karya Sayyid Qutub, dan yang paling berbahaya adalah kitab-kitabnya yang berisikan pengkafiran terhadap umat Islam dizaman ini, penikaman/tuduhan-tuduhan batil yang diarahkan kepada para sahabat Rasulullah bahkan kepada para Nabi, seperti kitab “Fi Dhilalil Qur’an, “Kutub wa Syakhsyiyyat”, “Al Adalah al Ijtima’iyyah” dan “Ma’alim fi Thariq”.
Karya-karya Abul A’la Al Maududi
Karya-karya Hasan Al Banna
Karya-karya Sa’id Hawwa
Karya-karya ‘Isham Al Aththar
Karya-karya Abul Fatah Al Bayanuni
Karya-karya Muhammad Ali Ash Shabuni
Karya-karya Muhammad Hasan Hambakah Al Maidani
Karya-karya Hasan at Turabi
Karya-karya Al Hudhaibi
Karya-karya Tilmisani
Karya-karya Ahmad Muhammad Ar Rasyid
Karya-karya ‘Isham al Basyir
Karya-karya, selebaran-selebaran dan kaset-kaset Muhammad Surur Zainal Abidin, pemimpin Al Muntada yang bermarkas di London dan kitab-kitab lainnya yang banyak tersebar di berbagai toko buku di negeri kita ini yang bermuatan pemikian pentakfiran ini. Oleh sebab itu sumber pemikiran ini harus “dikeringkan” karena bahayanya, dan harus dilarang peredarannya, serta mengawasi seluruh toko buku yang menggampangkan penyebaran, penjualan dan pembagiannya.

Kitab-kitab seperti ini jika dibaca oleh seorang pemuda yang belum matang pemikirannya dan tidak memiliki benteng berupa ilmu agama yang membentenginya dari pengaruh kitab-kitab tersebut, niscaya akan merusak otak dan pikirannya dan akan menjadikannya berjalan di atas ketidakpastian, sehingga dia akan senantiasa siap untuk melaksanakan apa saja yang dipinta darinya sekalipun dengan menumpahkan darahnya atau darah kaum muslimin atau darah orang-orang yang meminta jaminan keamanan dari penguasa muslim untuk tinggal di negerinya, semua itu dapat saja dilakukannya untuk sampai ke sasaran yaitu mati syahid di jalan Allah dan meraih keuntungan dengan masuk ke surga Allah.

Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh nara sumber mereka bahwasanya jalan itulah jalan yang benar, yang mana jika seorang menempuhnya pasti akan mencapai angan-angannya dan meraih kemenangan berupa ridha Allah. Dengan demikian pengkafiran, peledakan dan tindakan anarkis di negeri-negeri muslimin serta keluar dari manhaj/jalan salafush shalih merupakan jalan petunjuk menurut pandangan mereka.

”Cukuplah bagimu sebagai sebuah penyakit jika engkau berpandangan bahwa kematian adalah penyembuh”

”Dan cukuplah kematian itu sebagai sebuah angan-angan”

[8]. Keikutsertaan kebanyakan dari aktifis kelompok-kelompok pentakfiran seperti jama’ah Ikhwanul Muslimin dan cabang-cabangnya pada berbagai madrasah, pondok dan universitas kita dan mereka telah merubah (pola fikir) putra-putra kita dengan menanamkan pola fikir pentakfiran di antara mereka di sela-sela rihlah para mahasiswa, dan cerita-cerita yang kebanyakan tidak lepas dari sikap berlebih-lebihan dan dusta. Inilah di antara bidang-bidang upaya yang mana di sela-selanya mereka telah berhasil merusak kader-kader generasi muda kita dalam jumlah yang tiada sedikit, sehingga merekapun mengingkari manhaj, para ulama dan pemimpin mereka. Mereka menampakkan kepada genarasi kita bahwa merekalah yang berada di atas kebenaran dan yang selain mereka tidak benar.

Setelah penjelasan dan keterangan tentang sebab-sebab timbulnya pemikiran yang menyusup ke dalam agama dan ummat kita, ada sebuah pertanyaan (yang harus dijawab) yaitu bagaimanakah cara membentengi pemuda kita dari pemikiran ini? Untuk membendung bahaya pemikiran takfir ini, maka sepatutnya bagi kita baik secara individu maupun bersamaan untuk menempuh beberapa langkah sebagai berikut:

[1]. Mengajak generasi muda kita agar memegang teguh Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta kembali kepada keduanya dalam segala urusan, Allah ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan perpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai”. [Ali Imran : 103]

Dan Allah berfirman :

“Artinya : Dan apa saja yang kamu perselisikan tentangnya maka hukumnya diserahkan kepada Allah”, [Asy Syura : 10]

Dengan demikian maka berpegang teguh pada Kitab Allah adalah benteng dan sandaran yang kokoh yang dengannya Allah memelihara dari kejatuhan kepada lembah kebinasaan.

[2]. Penekanan pada pemahaman Al Qur’an dan Sunnah sejalan dengan pemahaman salafush shalih, hal ini tidak dapat terwujud terkecuali jika kaum muslimin memahami agama mereka melalui para ulama rabbaniyyin yang senantiasa berupaya membersihkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dari perubahan yang dilakukan oleh orang –orang yang melampaui batas terhadap Kitab Allah, yang menganggap baik kebatilan mereka dan penakwilan orang-orang jahil. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”[An Nahl : 43]

Dan Allah Ta’ala berfirman

“Artinya : Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orangorang yang ingin mengetehui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri)”.[An-Nisaa’: 83]

Dan memutus jalan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi ini di antara mereka, yang dengan berani memberi fatwa tanpa ilmu, yang telah merusak nama baik ulama umat dan mensifati mereka dengan berbagai sifat yang pada hakikatnya sifat-sifat tersebut sesuai pada diri mereka. Karena keberadaan para pemuda disekeliling ulama pewaris Nabi yang memiliki ilmu mendalam di sana terdapat pemeliharaan terhadap mereka insya Allah dari para perampok yang berbicara tanpa ilmu dan yang mengiringi kebatilan, sementera mereka beranggapan bahwasanya tidak ada tempat rujukan untuk mengendalikan para pemuda itu.

[3]. Menjauhi tempat-tempat yang menjadi sumber fitnah untuk memelihara diri dari kejahatan fitnah tersebut dan pengaruhnya yang buruk, Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orangorang yang dhalim saja di antara kamu“ [Al Anfaal : 25]

Yang demikian itu dilakukan dengan menyegerakan diri untuk beramal saleh yang dengannya Allah memelihara hamba-hambaNya dari beragam fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Segeralah kalian beramal sebelum datangnya berbegai fitnah yang berurutan ibarat kegelapan malam, yang mana seseorang di sore hari dia beriman dan di pagi hari dia telah menjadi kafir atau di pagi dia beriman dan di sore hari dia telah menjadi kafir, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia”.

Dan dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda.

”Artinya : Akan terjadi berbagai fitnah, orang yang duduk (yang menjauhinya) lebih baik dari pada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari pada orang yang berjalan, orang yang berjalan lebih baik daripada orang berlari dan barang siapa yang mendekatinya akan dibinasakannya, barang siapa mendapat tempat perlindungan hendaklah ia berlindung padanya. [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

[4]. Bersungguh-sungguh dalam beribadah dan teqwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya kerena itulah jalan keselamatan dari segala sesuatu yang dibenci, Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah Dia akan menjadikan urusannya mudah” [At-Tahrim : 4]

Dan Allah berfirman:

“Artinya : Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar”. [At-Tahrim : 3]

Dengan demikian bertaqwa kepada Allah Ta’ala, itiqamah di atas syari’at-Nya dan mengamalkan berbagai amalan yang diridhai-Nya merupakan sebab bagi setiap keberuntungan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.

[5]. Membendung dan melenyapkan segala fenomena kemaksiatan karena sesungguhnya tidaklah kaum muslimin ditimpa berbagai fitnah dan cobaan, kejelekan dan perbedaan kecuali hanyalah bersumber dari menyebarnya kemaksiatan dan kemungkaran, dan apa-apa yang menimpa mereka berupa musibah tiada lain kecuali disebabkan karena perbuatan-perbuatan tangan mereka sendiri, Allah Ta’ala berfirman :

”Artinya : Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Al-Baqarah : 165]

“Artinya : Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan-tangan manusia” [Ar Ruum : 41]

[6]. Menepati jama’ah kaum muslimin dan Imam mereka dan menanamkan dengan teguh pemahaman perihal ketaatan kepada pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin di dalam hal yang ma’ruf, Allah ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan para pemimpin kamu” [An-Nisa’ : 59]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya Allah ridha bagi kamu tiga hal dan Dia murka bagi kamu tiga hal, Dia ridha bagi kamu untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya , berpegang teguh kepada tali agama-Nya semuanya dan tidak bercerai berai dan agar kamu menasihati pemimpin yang diangkat oleh Allah untuk mengurusi urusan kamu”.

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

”Artinya : Ada tiga hal yangmana hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya selamanya: mengikhlaskan amal ibadah semata-mata kerena Allah, menasihati para pemimpin dan menetapi jama’ah kaum muslimin”

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

”Artinya : Barangsiapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya hendaklah ia bersabar karena sesungguhnya orang yang berpisah dari jama’ah kaum muslimin sejengkal lalu dia meninggal, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” [Hadits riwayat Bukhari dari hadits Hudzaifah yang panjang]

Lalu Hudzaifah bertanya : “Apakah yang engkau perintahkan wahai Rasulullah jika aku mendapati hal itu? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Engkau menetapi jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka”

Hudzaifah bertanya lagi : “Jika tidak terdapat jama’ah dan Imam pada kaum muslimin ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya walaupun engkau menggigit pokok pohon hingga kematian menjumpaimu dan engkau dalam keadaan yang demikian itu”

[7]. Senantiasa memohon pertolongan (kepada Allah) dengan berlaku sabar dalam neghaapi berbagai macam kesulitan, karena kesabaran mampu meredakan kebanyakan dari fitnah dan ujian. Allah berfirman :

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan dengan berlaku sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Baqarah : 153]

Dan Dia juga berfirman :

“Artinya : Dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu” [Luqman :17]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sangat menakjubkan perkara seorang mukmin, sungguh semua urusannya adalah kebaikan baginya, jika dia diberi ujian dengan hal-hal yang menyenangkan dia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika ia ditimpa sesuatu yang tidak menyenagkan ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya. Yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali seorang mukmin”.

[8]. Menangani segala urusan dengan lembut, penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam mengeluarka hukum dan fatwa, serta jauh dari sikap yang ditimbulkan oleh perasaan spontanitas dan kemarahan. Itulah sikap para Nabi dan Rasul serta para pengikut mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Sesungghnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka bertaubat kepada Allah” [Huud : 75]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj bin Abdil Qais :

.”Artinya : Bahwasanya dalam dirimu terdapat dua perangai yang keduanya dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu sikap penyantun dan penuh kehati-hatian”.

[9]. Menghiasi diri dengan sikap lemah-lembut, baik dalam berinteraksi dan lembut dalam menangani berbagai macam fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Tidaklah sikap lembut itu ada pada suatu (urusan) kecuali akan menghiasi dan tidak pula ia ditinggalkan dari suatu (urusan) kecuali akan memperburuk urusan itu”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan”.

[10]. Bersungguh-sungguh dalam menggambarkan berbagai urusan sesuai dengan realitanya, memahami dan mengetahuinya, meneliti kedalamannya serta memperkirakan dampak yang ditimbulkan oleh bahayanya, sebab menghukumi sesuatu merupakan gambarannya. Maka seorang muslim tidak boleh terkecoh/ tertipu dengan sekedar hanya melihat pada fenomena gambaran suatu perkara. Akan tetapi seorang mukmin berkewajiban harus senantiasa dalam keadaan berjaga dan sadar bagi setiap sesuatu yang berputar disekelilingnya, sehingga anda tidak tertipu oleh pakaiannya, sementara dia mempersiapkan persiapannya untuk (mencelakakanmu), bersama dengan itu anda harus tetap teguh di atas (upaya) untuk sampai pada tujuan dan sasaran da’wah, dan tidak mudah mengalah/ mundur dari manhaj (jalan) yang hak serta tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum atau menjerumuskan diri dalam masalah-masalah syari’at tanpa ilmu, Allah Subhanahu wa Ta’ala’ berfirman :

“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. [Al -Isra : 36]

[11]. Senantiasa tatsabbut (benar-benar meneliti) dalam segala urusan dan tidak mengambil prinsip terhadap isu-isu, apalagi yang disebarkan melalui sarana-sarana informasi dan jaringan-jaringan satelit international yang banyak bertujuan utk mengganggu kaum muslimin serta memecah belah dan melemahkan persatuan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al Hujurat : 6]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Hati-hatilah kalian dari bersangka, karena sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta”

[12]. Dalam memvonis seseorang dengan istilah yang digunakan oleh agama seperti menghukumi seorang itu kafir atau fasiq atau Ahlul bid’ah kita kembali kepada ketentuan syari’at yang telah datang dalam Al-Qur’an dan sunnah serta bersikap waspada dari menghukumi kaum muslimin dengan serampangan tanpa sikap berhati-hati dan penelitian serta tatsabbut terhadap segala sesuatu yang didengar. Karena sikap serampangan dalam masalah ini mengandung bahaya. Karena haram bagi seorang muslim untuk mengkafirkan saudaranya sesama muslim dengan dengan menentukan individunya meskipun dia tetap melaksanakan suatu perbuatn yang mengharuskannya menjadi kafir. Namun semua itu harus sesudah terpenuhinya segala persyaratan pengkafiran dan lenyapnya segala penghalang (yang menghalanginya dari kekufuran)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingati agar waspada dari perbuatan ini di mana beliau bersabda :

“Artinya : Tidaklah seseorang menuduh fasiq atau kafir kepada orang lain kecuali tindakan itu akan kembali kepadanya jika tidak demikian keadaan temannya yang dituduh dengan tuduhan tersebut”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Dzar]

Dari Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Siapa yang berkata kepada saudaranya : “Wahai kafir”, berarti telah kembali kepada salah satu dari keduanya” [Hadits Riwayat Bukhari- Muslim]

Dalam menerangkan makna hadits ini Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata :

“Ini merupakan ancaman yang besar bagi siapa saja yang mengkafirkan siapa saja dari kaum muslimin padahal tidak demikian keadaannya, dan perbuatan ini adalah kebinasaan yang besar, telah terjerumus di dalamnya sejumlah besar dari golongan orang-orang mutakallimin dan mereka yang menisbatkan diri kepada sunnah dan Ahlul Hadits tatkala mereka berselisih dalam masalah aqidah, maka merekapun berlebih-lebihan dalam mensikapi orang yang menyelisihi mereka dan menghukumi mereka dengan kekafiran”.

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menguatkan pendapat ini dengan mengatakan :

“Aku diantara orang yang paling melarang terhadap penisbatan orang tertentu kepada kekafiran, kefasiqan dan kemaksiatan kecuali jika telah diketahui bahwa hujjah telah benar-benar ditegakkan atasnya. Yang mana barang siapa menyelishinya terkadang dia menjadi kafir atau fasiq atau sebagai pelaku kemaksiatan dan sesungguhnya aku menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni umat ini akan kesalahannya dan itu mencakup kesalahan dalam berbagai masalah yang bersifat berita secara perkataan maupun masalah-masalah perbuatan”.

Inilah sebagian perkara yang sepatutnya bagi seorang muslim untuk memeliharanya tatkala munculnya berbagai fitnah dan merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin secara individu maupun masyarakat, para pemerintah maupun rakyat dan ulama’ maupun para penuntut ilmu hendaknya mereka melipat gandakan segala jerih payah mereka untuk memberantas berbagai fitnah serta mencabutnya dari akar-akarnya, apalagi yang sedang terjadi pada saat ini berupa fitnah-fitnah pengkafiran yang telah sampai penghalalan darah dan harta benda kaum muslimin serta tindakan pengrusakan terhadap bangunan mereka dengan menggunakan sarana-sarana penghancuran dan peledakan . Yang mana mereka didukung secara finansial oleh sebagian organisasi gelap dan penulis yang dibayar serta fatwa-fatwa yang menyesatkan yang menjerumuskan kepada penipuan terhadap sebagian generasi muda yang belum matang pemikiran mereka. di mana mereka merubah menjadi pelaku tindak kerusakan yang membunuh kaum muslimin dan orang-orang asing yang dijamin keamanannya oleh negara, serta mereka melampaui batas terhadap benda dan harta lalu mereka menamakan itu semuanya sebagai jihad dan ini adalah termasuk pemberian nama terhadap sesuatu yang tidak semestinya”.

Dan mesti disini saya isyaratkan sikap-sikap manusia terhadap jihad, agar gambarannya jelas bagi pencari kebenaran :

[A]. Sikap Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Bahwasanya jihad itu disyariatkan dan akan tetap ada hingga hari kiamat, dibelakang setiap pemimpin muslim yang baik maupun yang fasik, dan setiap orang muslim wajib menyiapkan diri untuk berjihad hingga ia berjumpa dengan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Barangsiapa yang mati sedang dia belum berperang (berjihad) dan tidak pernah terdetik dalam dirinya untuk berperang maka dia mati diatas salah satu cabang kemunafikan”.

[1]. Akan tetapi dalam berjihad haruslah terpenuhi syarat-syarat dan faktor-faktor penunjangnya, di antaranya adalah :
[2]. Hendaklah berjihad semata-mata mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala’ dan kaum muslimin mempunyai senjata, kekuatan, dan pertahanan.
[3]. Berjihad dalam satu komando di bawah bendera kaum muslimin.
Seorang Imam kaum muslimin (pemimpin) mengumandangkan seruan untuk berjihad.
[4]. Hendaknya (sebelum mereka diperangi) telah diserukan dakwah agar mereka masuk Islam, akan tetapi mereka menolak seruan tersebut atau mereka menghalang-halangi dari tersebarnya Islam
[5]. Hendaknya benar-benar yakin dalam berjihad tidak menimbulkan kemudharatan bagi Islam dan muslimin.

Jika telah terpenuhi syarat-syarat dan faktor-faktor yang menunjangnya maka marilah kita berjihad, dan kalaulah tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut maka janganlah kita berjihad.

[B] Sikap orang-orang yang meremehkan masalah berjihad walupun terpenuhi persyaratan dan faktor-faktor penunjangnya dengan dakwaan bahwa yang tersisa saat ini hanyalah jihad akbar, yang mereka maksudkan yaitu jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu), dan mereka senantiasa menyebutkan hadits maudlu’ (palsu):

“Artinya : Kami kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (jihad akbar, yaitu jihad melawan hawa nafsu).”

Ini adalah manhajnya orang-orang sufi yang suka berjalan-jalan di berbagai negeri dengan mengatasnamakan dakwah dan mereka juga memakai hadits-hadits dha’if (lemah), palsu serta mimpi-mimpi sebagai sandarannya.

[C]. Suatu kelompok yang menamakan jihad dengan tidak semestinya, mereka itu adalah “khawarij” zaman ini , dimana pendahulu mereka telah keluar dari kaum muslimin semenjak terbunuhnya Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhai keduanya) hingga keluar kelompok mereka bersama Dajjal, mereka sebagaimana hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak kepada penyembah berhala dan membunuh muslimin. Mereka membaca Al Qur’an yang tidak melampaui kerongkongan mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamai mereka sebagai : “Anjing neraka”, pembunuhan yang jelek adalah pembunuhan yang dilakukan “khawarij”, mereka “menyembelih” kaum muslimin dalam negeri Islam, dan mereka meyakini bahwa negeri kaum muslimin adalah negeri peperangan, dan mereka telah memberikan kepada musuh-musuh Islam “pelayananan” yang mereka tidak akan memperolehnya dengan sarana-sarana mereka.

Maka wajib bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk menyingkap “kepalsuan” mereka dan menerangkan kesesatan mereka hingga tidak tersebar kerusakan mereka, dan bertambah genting perkara mereka, dan diharamkan untuk menutup-nutupi salah seorang dari mereka, karena hal ini adalah termasuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”[Al Maidah : 3]

Barangsiapa melindungi dan menutup-nutupi (keadaan) mereka, atau membela mereka, atau (malah) membenarkan perbuatan mereka, maka berarti ikut serta membunuh jiwa-jiwa yang tak bersalah dan terjaga dari kalangan kaum muslimin dan non muslim yang dijamin keamanan mereka, orang non muslim yang mempunyai perjanjian, dan ahli dzimmah (orang-orang non muslim yang tinggal dinegeri kaum muslimim), dan sesuai baginya hadits yang benar datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Semoga laknat Allah ditimpakan atas orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan”

Kami mohon kepada Allah yang Mulia Pencipta Arsy yang Agung, dengan nama-namanya yang tinggi agar Dia menjaga kaum muslimin dan secara umum dan dan negeri ini (Saudi Arabia) secara khusus, baik itu agamanya, keamanannya, stabilitasnya. Dan agar Dia memberi petunjuk kaum muslimin yang tersesat, dan mengembalikan mereka kepada agama mereka dengan cara kembali yang baik, dan menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran , dan akhir do’a kita adalah “Segala puji bagi Allah Robbul Alamin, dan shalawat serta salam atas nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabat beliau seluruhnya.

[Diterjemahkan dari http://www.alaser.net]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islmaiyyah, Edisi Th. I/No. 06/1424H/2003, hal. 3 – 8. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda No. 46 Surabaya, dan dinukil dari http://www.almanhaj.or.id]

AHLUS SUNNAH DAN TERORISME

Oleh: Syaikh Dr Muhammad bin Musa Alu Nashr

Orang yang menuduh kita sebagai teroris, ia termasuk ahlul ghuluw (berlebih-lebihan dalam tuduhannya). Ia tidak mengerti dakwah salafiyah. Dakwah salafiyah adalah dakwah Islam. Dakwah salafiyah adalah dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya[1]. Namun demikian, tidak boleh seorang Salafi (siapapun orangnya) menganggap dirinya berakhlak seperti akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau akhlak para shahabatnya.

Dakwah salafiyah berdiri di atas aqidah yang benar, aqidah yang Rasulullah dan para sahabatnya berkeyakinan dengannya. Dakwah salafiyah tegak diatas manhaj (jalan, metode, tata cara) Islam yang benar dan lurus, berdiri diatas dalil. Dakwah ini benar-benar mengagungkan As-Salaf Ash-Shalih (generasi terdahulu yang shalih), dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Dakwah ini mengagungkan dan menghormati dalil, (berupa) firman Allah dan (sabda) Rasulnya, tidak mengutamakan dan mengedepankan perkataan siapapun (di atas perkataan Allah dan rasulNya), betapapun tinggi derajat dan kedudukannya orang itu. Dakwah salafiyah menyeru kepada Allah, kepada ajaran Islam yang benar, seimbang dan adil. Menyeru kepada kelemah lembutan dan menolak kekerasan. Maka menuduh dakwah salafiyah sebagai terorisme adalalah dusta!

Karena, siapakah yang benar-benar menentang para teroris dan takfiriyin (orang-orang yang sangat mudah mengkafirkan orang lain tanpa sebab yang haq) saat ini?

Siapakah mereka kalau bukan ulama dakwah salafiyah ? Mereka, yang pada zaman ini dikenal sangat gigih membela dan berdakwah dengan dakwah salafiyah ini. Yang paling dikenal di antara mereka, seperti Al-Imam Al-Muhaddist Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, kemudian Asy-Syaikh Al’Allaamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Asy-Syaikh Al-Allaamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Kemudian murid-murid Al-Imam Al-Muhaddist Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan murid-murid mereka semua.

Merakalah yang jelas-jelas nyata paling menentang dan membantah pemikiran terorisme ini, baik dengan tulisan-tulisan di dalam kitab-kitab mereka, kaset-kaset kajian ilmiah mereka, dan dari seputar kajian-kajian ilmiah mereka secara langsung. Hal ini diketahui oleh setiap munshif (orang yang adil dalam menghukum).

Adapun mukabir (orang yang sombong dan keras kepala) dan orang yang mendustakan kenyataan mereka semua, maka sesungguhnya dia merupakan generasi (pelanjut) dari tokoh-tokoh (penentang) terdahulu, (yaitu orang-orang) yang menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tukang sihir, orang gila, pemalsu dan pembuat Al-Qur’an, pendusta. Mereka hanya menuduh, menuduh dan terus menuduh (tanpa haq dan bukti yang benar).

Namun inilah taqdir para nabi, mereka selalu didustakan oleh sebagian umatnya. Allah berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” [Al-An’am : 34]

Oleh karena itu, demikianlah keadaan para da’i yang berdakwah kepada Allah, keadaan para penuntut ilmu agama. Mereka akan selalu mendapatkan halangan dan rintangan serta hambatan dari orang-orang sesat, ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah. Mereka akan disakiti oleh para penentang itu.

Para ahli bid’ah, orang-orang sesat, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah, (mereka) tidak pernah berhenti melancarkan usaha-usaha keji ( yang mereka buat), berupa provokasi, menaburkan bibit-bibit pertikaian dan permusuhan di kalangan masyarakat, sehingga para da’i yang ikhlas berdakwah kepada Allah dan para penuntut ilmu agama, (mereka) akan selalu mendapatkan rintangan ini.

Ada dua pondok pesantren yang bermanhaj salaf di sebuah pulau. Setelah para ahli bid’ah, orang-orang sesat, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah ini mengetahui keberadaan dua pondok pesantren ini, mereka segera menghasut masyarakat setempat, dan akhirnya merekapun berhasil menghancurkan dan memporakporandakan ke dua pondok pesantren ini.

Tidak ada yang memicu mereka untuk melakukan tindakan keji ini, melainkan hasad, dengki dan kebencian yang membakar dada-dada mereka terhadap para da’i dari penuntut ilmu agama yang benar dan lurus. Demikianlah, karena orang sesat memang tidak akan pernah mencintai kebenaran dan ahlinya!.

Betatpapun demikian, orang-orang yang berpegang teguh dengan manhaj salaf, pasti akan tetap selalu ada. Mereka selalu konsisten di atas prinsipnya dalam berdakwah. Tidak berpengaruh tindakan-tindakan orang yang berusaha berbuat madharat terhadap mereka, juga orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Akan tetap ada sekelompok dari umatku yang muncul di atas al-haq (kebenaran), tidak membahayakan mereka orang-orang yang meninggalkan (tidak mempedulikan mereka) sampai datang urusan dari Allah, sedangkan mereka tetap demikian” [2]

Dan golongan ini, para ulama telah menafsirkan, bahwa mereka adalah ahlul hadits dan ahlul atsar (yaitu orang-orang yang konsisten mengikuti hadits-hadits dan jejak para As-Salaf Ash-Shalih).
Maka, saya nasihati setiap muslim, hendaknya ia menjadi seorang salafi. Saya nasihati setiap muslim, hendaknya ia menjadi seorang salafi [3]. Hendaknya setiap muslim bermanhaj, seperti apa yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebuah manhaj yang tidak berpihak kepada personal tertentu, atau kepada jama’ah-jama’ah tertentu.

As-Salafiyah bukanlah bayi perempuan yang baru terlahir sekarang. Bukan pula sebuah organisasi yang baru didirikan saat ini. As-Salafiyah adalah ajaran yang turun dari Allah, berupa wahyu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada putrinya Fathimah Radhiyallahu anha [4] tatkala ia meninggal dunia.

“Artinya : Bergabunglah bersama pendahulu kita yang shalih, Utsman bin Mazh’un” [5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata (yang maknanya) : “Bukan (merupakan) aib, jika seseorang menisbatkan (menyandarkan) dirinya kepada salaf, karena manhaj salaf adalah (manhaj yang) a’lam (lebih berilmu), ahkam (lebih bijak dan berhukum), dan aslam (lebih selamat)”.

Karena jika tidak demikian, bagaimana kita bisa merealisasikan : ‘Maa ana ‘alaihi wa ashhaabii’.

Lihatlah ! Sekarang banyak jama’ah dengan bermacam-macam pola mereka, ada yang ke barat, ada yang ke timur. Semuanya mengikuti jalannya masing-masing yang berbeda-beda. Kecuali, hanya dakwah salafiyah yang diberkahi Allah ini. Golongan inilah yang tetap konsisten berpegang teguh kuat-kuat dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di atasnya.

Oleh karena itu, saya memohon kepada Allah agar mereka –baik para da’i, para penuntut ilmu, dan orang-orang yang bermanhaj salaf ini- senantiasa diberikan kemudahan dan keutamaan dariNya, dan agar mereka dijadikan olehNya generasi-generasi terbaik pewaris mereka. Sesungguhnya Allah-lah yang berkenan mangabulkan do’a ini dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tidaklah ada seorang yang menentang dakwah yang haq ini, melainkan Allah pasti akan mebinasakannya. Karena Allah akan selalu membela orang-orang yang beriman (yang membela agamaNya).

Karenanya, seluruh model dakwah apapun (di muka bumi ini) yang berusaha menghalang-halangi, menentang, dan merintangi dakwah salafiyah, usaha mereka pasti sia-sia dan gagal. Bahkan yang mereka dapatkan hanyalah kerugian dan penyesalan. Sedangkan Allah senantiasa membela dan menolong dakwah salafiyah ini, karena Allah pasti akan menolong orang-orang yang membela agamaNya, sebagaimana firmanNya.

“Artinya : Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” [Al-Hajj : 40]

Demikianlah, akhirya saya cukupkan jawaban saya sampai di sini. Saya berharap bisa bertemu dengan kalian pada kesempatan yang lain, insya Allah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/1426. Diambil dari Muhadharah Syaikh Dr Muhammad bin Musa Alu An-Nashr di Masjid Al-Karim, Pabelan, Surakarta, Ahad 19 Februari 2006, Diterjemahkan oleh Abu Abdillah Arief Budiman bin Utsman Rozali]
_________
Foote Note
[1]. Berdasarkan hadits Iftiraqul ummah (perpecahan umat) yang shahih dan masyhur, yang dikeluarkan oleh Abu Daud 4/197-198 no. 4597, At-Tirmidzi 5/25-26 no. 2640 dan 2641. Ahmad 2/332, 3/120 dan 145, 4/102, Ibnu Majah 2/1231-1232 no. 3991-3993 dari hadits Abu Hurairah dan Auf bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dan lain-lain yang sdi salah satu lafazh akhir hadits-haditsnya adalah. “Mereka adalah al-jama’ah” dan ‘(Yaitu) mereka seperti apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah di dalam Ash-Shahihah 3/480 dan kitab-kitab beliau lainnya.
[2]. Hadits Riwayat Muslim 3/1523 no. 1920 dari hadits Tsauban Radhiyallahu ‘anha, dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari 2/2667 no. 6881 dari hadits Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu dan lain-lain.
[3]. Syaikh Dr Muhammad bin Musa Alu An-Nashr memang mengulangi kata-katanya ini dua kali.
[4]. Demikian yang Syaikh Dr Muhammad bin Musa Alu An-Nashr sampaikan. Mungkin yang beliau maksud adalah Ruqayah binti Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Fatimah Radhiyallahu ‘anha meninggal sekitar setengah tahun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sebagaimana yang telah diketahui dan telah banyak keterangannya di dalam kitab-kitab tarajim (biografi) para sahabat. Lihat Taqrib at Tahdzib, hal. 1367 no. 8749.
[5]. Hadits Riwayat Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 6/41 no. 5736 dan lain-lain. Hadits ini pernah diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika putri beliau Zainab meninggal, sebagaimana dalam Musnad Al-Imam Ahmad 1/237 dan 335 no. 2127 dan 3103 dan lain-lain. Juga ketika putra beliau Ibrahim meninggal sebagaimana dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 1/286 no. 837 dan lain-lain. Al-Imam Adz-Dzhahabi di dalam Siyar A’lam An-Nubala 2/252, beliau membawakan biografi Ruqayah Radhiyalahu ‘anha, beliau menghukumi hadsits ini dan berkata ‘Munkar’.
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali –hafizhahullah- di dalam kitabnya (Bashra-iru dzawi asy-Syaraf bi Marwiyati Manhaj As-Salaf) hal.18 berkata : ‘Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sabdanya kepada putri beliau Ruqayah, tatkala ia meninggal …’ lalu beliaupun (Syaikh Salim bin Id Al-Hilali) membawakan hadits ini. Kemudian beliau komentari pada catatan kaki : ‘Dhaif, dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad 1/237 dan 335 dan Ibnu Sa’ad di dalam Ath-Thabaqat 8/37 dan hadits ini dipermasalahkan oleh syaikh kami –rahimahullah- di dalam Adh-Dha’ifah no. 1715, karena terdapat (di sanadnya) Ali bin Zaid bin Jud’an”.
Dan Ali bin Zaid bin Jud’an adalah perawi yang dhai’f. Lihat Taqrib at Tahdzib, hal.696 no. 4768.
Atau, mungkin yang dimaksud oleh beliau (Syaikh Dr Muhammad bin Musa Alu An-Nasr) adalah justru perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau (Rasulullah) menjelang wafat. Jika ini yang dimaksud, maka haditsnya adalah muttafaq ‘alaih, dikeluarkan oleh Al-Bukhari 5/2317 no. 5928 dan Muslim 4/1904 no. 2450 dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik pendahulu bagimu”.
Dan lafazh hadits ini lafazh Shahih Muslim.

KAIDAH-KAIDAH DALAM BERJIHAD

Oleh: Syaikh Prof. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad

Ini adalah pembahasan yang sangat penting dalam masalah jihad, yaitu memahami bahwa jihad yang disyariatkan dalam Islam adalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta atsar para Salafush Shalih. Tidak sempurna jihad dijalan Allah dan tidak akan termasuk amal shalih tanpa memperhatikan syarat-syarat tersebut.

Diantara kaidah-kaidah serta syarat-syarat jihad adalah sebagai berikut.

[1]. Jihad harus dilandasai oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima jihadnya seseorang hingga dia mengikhlaskan niatnya karena Allah dan mengharapkan keridhoanNya. Jika dia hanya mengharapkan dengan jihadnya tersebut keuntungan pribadi atau jabatan atau yang lainnya dari perkara-perkara dunia maka jihadnya ini tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, Allah tidak akan menerima jihad seseorang apabila dia tidak mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berjihad. Seseorang yang ingin berjihad haruslah terlebih dahulu memahami bagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad kemudian dia mencontohnya.

[2]. Jihad tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyariatkannya jihad yaitu untuk meninggikan kalimat Allah dan agar agama ini hanyalah milik Allah, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah ! ada seseorang yang berperang karena keberaniannya, ada lagi karena fanatik (golongan), ada juga karena riya, mana diantara mereka yang termasuk berjihad di jalan Allah ? maka beliau menjawab : “Barangsiapa yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah tinggi maka dia di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 7458 dan Muslim 1904]

[3]. Jihad haruslah diiringi dengan ilmu dan pemahaman agama yang baik, karena jihad termasuk semulia-mulianya ibadah dan ketaatan. Dan ibadah tidaklah sah tanpa ilmu dan pemahaman agama. Oleh karena itulah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disebutkan dalam atsar bahwa : “Ilmu adalah imam/pemimpin amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya”. Hal ini sebenarnya sudah jelas, karena jika tujuan dan perbuatan tidak diiringi dengan ilmu, maka hal tersebut hanyalah kebodohan dan kesesatan serta mengekor kepada hawa nafsu. Maka harus diketahui hakekat jihad yang sebenarnya, tujuan jihad, macam-macam jihad dan tingkatan-tingkatannya, serta harus dipahami keadaan musuh yang hendak diperangi. [2]

[4]. Jihad hendaknya dilakukan dengan penuh rahmat/kasih sayang dan lemah lembut karena jihad tidaklah disyariatkan untuk menyiksa jiwa atau menyakiti orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidaklah kelemah lembutan ada pada sesuatu, melainkan dia akan memperindahnya, dan tidaklah kekerasan ada pada sesuatu melainkan dia akan merusaknya” [Hadits Riwayat Muslim]

Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Syaitan selalu menginginkan dari manusia agar mereka berlebih-lebihan dalam semua perkara. Jika syaitah melihat orang tersebut condong kepada kasih sayang maka dia jadikan berlebih-lebihan dalam menyayangi, hingga tidak membenci apa yang dibenci Allah dan tidak cemburu. Tapi jika syaitan melihat orang itu condong kepada sikap kasar/keras, maka syaitan pun menjadikannya berlebih-lebihan hingga tidak berbuat ihsan/baik, lemah lembut dan kasih sayang sesuai dengan yang Allah perintahkan dan dia amat ekstrim dalam membenci dan mencela serta memberi sangsi…” [3]

[5]. Jihad haruslah dipenuhi dengan keadilan dan jauh dari kedzoliman. Ini adalah ketentuan yang penting dalam jihad di jalan Allah, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmannya.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Dan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, medorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al-Maidah : 8]

Dahulu, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukannya, selalu mewasiati mereka untuk bertakwa dan beliau berkata : “Berjalanlah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Janganlah mecincang (mayat) dan janganlah berbuat curang serta jangan membunuh anak kecil” [Hadits Riwayat Muslim 1731]

Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang tidak ikut berperang dari kaum wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, orang buta, orang-orang yang lemah/sakit, orang-orang gila, dan para pendeta/pastur serta biarawan/biarawati adalah golongan yang tidak layak dibunuh dalam medan jihad karena perang itu ditujukan kepada orang yang memerangi kita ketika kita menampakkan agama Allah. Siapapun dari golongan diatas yang tidak ikut serta memerangi kita maka kita pun tidak boleh memerangi mereka. Yang demikian itu karena Allah membolehkan untuk membunuh jiwa yang dengannya makhluk ini bisa baik, seperti yang Allah firmankan.

“Artinya : Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh” [Al-Baqarah : 217]

Maksudnya bahwa perang itu meskipun terdapat kejelekan dan kerusakan di dalamnya, tapi kerusakan dan fitnah kekafiran lebih dari itu semuanya. Barangsiapa yang tidak menghalangi kaum muslimin dari mendirikan agama Allah, maka bahaya kekafirannya hanya untuk dia sendiri. Oleh karena itulah para ulama berkata : “Para da’i yang menyeru kepad bid’ah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah layak diberi sangsi, berlainan dengan yang diam (tidak menyeru kepada bid’ah). Semuanya ini termasuk kebaikan Islam dan seruan Islam untuk berbuat adil dan menjauhi segala bentuk penganiayaan dan kedzoliman” [4]

[6]. Jihad (tholab/menyerang ,-pent) haruslah bersama imam kaum muslimin atau dengan seizinnya baik pemimpin/imam tersebut orang yang baik ataupun fasik. Ini diantara kententuan yang paling penting yang harus ada dalam jihad fi sabilillah, karena jihad –khususnya jihad melawan musuh-musuh Allah dengan senjata- tidak bisa dilakukan melainkan dengan kekuatan dan kekuatan tidak bisa diperoleh melainkan dengan persatuan. Dan persatuan tidak dapat terwujud melainkan dengan kepemimpinan. Dan kepemimpinan tidak berjalan melainkan dengan adanya sikap mendengar serta taat (kepada pemimpin). Semua perkara ini saling berkaitan dan tidak sempurna sebagiannya melainkan dengan sebagian yang lain, bahkan tidak akan tegak agama dan dunia ini melainkan dengannya[5].

Ketentuan ini telah dijelaskan dalam sunnah serta ucapan para salaf. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya imam/pemimpin itu adalah perisai yang (kaum muslimin) berperang dibelakangnya dan menjadikan sebagai tameng” [Hadits Riwayat Bukhari 2957 dan Muslim 1841]

Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi berkata dalam Aqidah Thohawiyahnya : “Haji dan jihad senantiasa dilaksanakan bersama ulim amri/pemimpin kaum muslimin yang baik maupun yang dzolim sampai hari kiamat…”.
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ; dibolehkan sholat dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik dan dibolehkan jihad bersama para kholifah, serta dia tidak memberontak terhadap penguasa dengan mengangkat senjata dan dia mendo’akan kebaikan untuknya, maka sungguh di telah keluar dari ucapan kelompok Khowarij dari awal sampai akhir” [6]

[7]. Jihad di jalan Allah disesuaikan dengan keadaan kaum muslimin, sudah kuatkah atau masih lemah ? karena keadaan bisa berubah setiap waktu dan tempat. Jihad di jalan Allah disyariatkan dalam Islam dengan melalui beberapa tahapan ; Pada waktu di Mekkah belum disyariatlan jihad dengan mengangkat senjata, karena kaum muslimin pada saat itu masih minoritas dan lemah, akan tetapi disyariatkan jihad dengan hati dan lisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar” [Al-Furqon : 52] ayat ini makkiyah (turun sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, -pent)

Firman Allah : “Wajahidhum”. Ibnu Abbas mengatakan : “Dengan Al-Qur’an” seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan mulai mendirikan negara Islam diizinkan beliau untuk berperang secara mutlak melalui firmanNya.

“Artinya : telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka” [Al-Haj : 39]

Kemudian diwajibkan jihad kepada kaum muslimin serta diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi mereka dan menahan diri dari orang-orang yang tidak mengganggu mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Setelah itu Allah menurunkan ayat yang memerintahkan untuk berjihad secara mutlak serta tidak menahan diri dari siapapun sampai mereka masuk kedalam agama Allah atau membayar jizyah, seperti yang termaktub dalam firmanNya.

“Artinya : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” [Al-Anfal : 39]

Para pakar ulama menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak ada yang mansukh/dihapus (hukumnya,-pent) akan tetapi ayat-ayat tersebut berlaku sesuai dengan kondisi yang ada, maka hendaknya kaum muslimin disetiap waktu dan tempat untuk mengambil ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka dalam keadaan lemah maka jihadnya sesuai dengan kemampuan mereka. Jika mereka lemah maka cukup dengan berdakwah secara lisan. Dan jika mereka telah memiliki sebagian kekuatan maka mereka (dibolehkan) memerangi orang-orang yang memerangi mereka atau yang dekat dengan mereka serta menahan diri dari yang tidak menganggu mereka. Dan apabila mereka telah amat kuat dan memiliki kekuasaan maka (dibolehkan) untuk memerangi semuanya sehingga manusia semuanya masuk Islam atau membayar jizyah. [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Barangsiapa diantara kaum muslimin dalam keadaan lemah di suatu tempat atau waktu, maka hendaknya dia mengamalkan ayat kesabaran dan memaafkan orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya dari kalangan ahli kitab maupun orang-orang musyrikin”.[8]

Syaikh Abdurrohman As-Sa’di rahimahullah berkata : “Hendaknya mereka mengetahui bahwa Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai kemampuan mereka dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tuladan mereka. Dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui dua keadaan dalam berdakwah dan berjihad. Beliau diperintah sesuai dengan keadaannya. Disaat kaum muslimin dalam keadaan lemah dan dikuasai musuh beliau diperintah untuk membela diri saja dan mencukupkan diri dengan berdakwah serta menahan diri dari jihad mengangkat senjata, karena hal tersebut lebih banyak madhorotnya. Dan disaat yang lain mereka diperintahkan untuk menolak kejahatan para musuh dengan segala kekuatan yang ada dan berdamai selama terdapat maslahat dalam perdamaian tersebut, serta memerangi orang orang-orang yang melampui batas jika maslahatnya lebih besar. Wajib bagi kaum muslimin untuk meneladani Nabi mereka dalam hal ini. Dan meneladani beliau adalah kemaslahatan dan kesuksesan” [9]

[8]. Jihad haruslah dapat mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengakibatkan kemadhorotan yang lebih besar. Yang demikian itu karena Jihad dengan segala bentuknya disyariatkan untuk mewujudkan maslahat dan menolak madhorot dari Islam dan kaum muslimin baik perorangan maupun kelompok. Senantiasa jihad disyariatkan apabila diketahui dengan seyakin-yakinnya atau diperkirakan dengan seksama dapat mewujudkan tujuan tersebut. Tapi sebaliknya, jika diketahui dengan yakin atau diperkirakan dengan seksama hal tersebut lebih banyak mendatangkan madhorot, maka jihad pada saat itu tidak disyariatkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Seutama-utamanya jihad dan amal shalih adalah yang lebih mentaati Allah dan lebih bermanfaat bagi hamba Allah. Apabila jihad dapat memadhorotkannya serta menghalangi dari yang lebih bermanfaat maka tidak bisa dikatagorikan sebagai amal shalih” [10]

[9]. Kesimpulan : Pondasi dari kaidah-kaidah diatas adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai tolak ukur dalam segala keadaan dan hal tersebut mencakup empat perkara : Aqidah yang benar, Niat yang ikhlas, Kejujuran dalam bertawakkal, dan Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang mujahid yang tidak berpegang dengan aqidah yang benar maka ucapan dan perbuatannya tidak terlepas dari kerusakan dan penyimpangan, karena benarnya aqidah seseorang adalah pondasi bagi keselamatan ucapan dan perbuatan. Dan seorang mujahid yang tidak berpegang dengan niat ikhlas dalam ucapan dan perbuatannya maka jihadnya bukan karena wajah Allah atau untuk menegakkan kalimatNya bahkan hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Dan mujahid yang tidak jujur dalam bertawakkal kepada Allah maka dia tidak akan bisa istiqomah dalam berjihad di jalan Allah dan dalam memikul beban jihad, bahkan tekadnya bisa cepat lemah dan mudah pesimis dari pertolongan Allah. Dan seorang mujahid yang tidak mengikuti jejak Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jihadnya tidak akan benar dan tidak jauh dari bid’ah dan penyimpangan. Bahkan jihadnya lebih condoh kepada pengrusakan terhadap dirinya dan selainnya dari pada perbaikan dan seruan kepada jalan Allah yang lurus.

[Diringkas dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 18 Th IV Muharram 1427H/Peb-Maret 2006M. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya, dinukil dari: http://www.almanhaj.or.id]
_________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini kami ringkaskan dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib.
[2]. Lihat Majmu fatawa oleh Syaikhul Islam rahimahullah 28/135-136
[3]. Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/35
[4]. Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/161 dan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad 3/100, 105
[5]. Majmu Fatawa 28/390
[6]. Syarhus Sunnah hal. 57
[7]. Majmu Fatawa oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah 18/131,133,136-137
[8]. Ash-Shoorimul Maslul 2/413
[9]. Wujuubur Ta’awun Bainal Muslimin 5/190
[10]. Majmu Fatawa 22/300

DEFENISI DAN HUKUM JIHAD FISABILILLAH

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Jihad adalah salah satu syi’ar Islam yang terpenting dan me-rupakan puncak keagungannya. Kedudukan jihad dalam agama sangat penting dan senantiasa tetap terjaga. Jihad fii sabiilillaah tetap ada sampai hari Kiamat.

Secara bahasa (etimologi) kata jihad diambil dari kalimat:(…..)
Yang berarti kekuatan usaha, susah payah dan kemampuan. [1]

Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) rahimahullahu: ÇáúÌóåúÏõ berarti kesulitan dan ÇáúÌõåúÏõ berarti kemampuan. [2]

Menurut istilah syar’i (terminologi):
“Al-Jihad artinya memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan baik berupa perkataan atau perbuatan.” [3]

“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

Jihad ada tiga macam:
1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan syaithan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.

Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an surat al-Hajj: 78, at-Taubah: 41, al-Anfaal: 72. [4]

Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani (yang terkenal dengan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, wafat th. 852 H) rahimahullahu: “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.” [5]

Istilah Jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan orang-orang fasiq. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan dengan menolak segala bentuk syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh syaithan. Jihad melawan orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan dan hati. [6]

Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” [7]

Jihad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu adalah: “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.” [8] Kata beliau: “Bahwasanya jihad pada hakikatnya adalah mencapai (meraih) apa yang dicintai oleh Allah berupa iman dan amal shalih, dan menolak apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiyat.” [9]

Definisi ini mencakup setiap macam jihad yang dilaksanakan oleh seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kesungguhan mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, muslim atau orang kafir dan bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan selain itu. [10]

Jihad tidak dikatakan jihad yang sebenarnya melainkan apabila jihad itu ditujukan untuk mencari wajah Allah, menegakkan kalimat-Nya, mengibarkan panji kebenaran, menyingkirkan kebathilan dan menyerahkan segenap jiwa raga untuk mencari keridhaan Allah. Akan tetapi bila seseorang berjihad untuk mencari dunia, maka tidak dikatakan jihad yang sebenarnya.

Barangsiapa yang berperang untuk mendapatkan kedudukan, memperoleh harta rampasan, menunjukkan keberanian, mencari ketenaran (kehebatan), maka ia tidak akan mendapatkan ganjaran dan tidak akan mendapat pahala. [11]

Jihad dalam Islam merupakan seutama-utama amal. Allah memerintahkan jihad yang termaktub di dalam Al-Qur-an, yaitu pada surat al-Baqarah: 190, 193, 216, Ali ‘Imran: 142, an-Nisaa’: 95, at-Taubah: 73, al-Anfaal: 74, al-Hajj: 78, al-Furqaan: 52 dan ash-Shaaf: 11.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Amal apa yang paling utama?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad fii sabiilil-laah.’” [12]

Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Amal apa saja yang paling utama?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Beriman kepada Allah dan berjihad fii sabiilillaah…” [13]

‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad fii sabilillaah.” [14]

Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang karena mengharap ghani-mah (harta rampasan perang), ada yang lain berperang supaya disebut namanya, dan yang lain berperang supaya dapat dilihat kedudukannya, siapakah yang dimaksud berperang di jalan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang berperang supaya kalimat Allah tinggi, maka ia fii sabiilillaah (di jalan Allah).” [15]

HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah al-Qaahir:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci se-suatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]

Ayat ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Azza wa Jalla bagi kaum Muslimin, agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari wilayah Islam.

Muhammad bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H) rahimahullahu berkata: ‘Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuh-kan, maka hendaklah ia tetap di tempat (tidak ikut).’” [16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah):

“Tidak ada hijrah setelah Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah), akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Bila kalian diminta untuk maju perang, maka majulah!” [17]

Hukum jihad adalah fardhu kifayah [18] dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah antara lain dari Al-Qur’an surat an-Nisaa’: 95-96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Empat Imam Madzhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fii sabiilillaah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakan-nya maka berdosa semuanya. [19]

Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:

Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan kafirin (orang-orang kafir) bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik.

Kedua: Apabila musuh menyerang negeri Muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.

Ketiga: Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalilnya adalah surat at-Taubah: 38-39. [20]

Jihad diwajibkan atas:
1. Setiap Muslim.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Mempunyai kemampuan untuk berperang.
7. Mempunyai harta yang mencukupi baginya dan keluarganya selama kepergiannya dalam berjihad. [21]

Bagi kaum wanita tidak ada jihad, jihad mereka adalah haji dan ‘umrah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya, kaum wanita wajib berjihad (meskipun) tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah.’” [22]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Pasal “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri”. Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).
[2]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208).
[3]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319) Ibnul Atsir.
[4]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208) oleh al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) t.
[5]. Fat-hul Baari (VI/3) oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[6]. Ibid.
[7]. HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7) dan al-Hakim (II/81) dari Sahabat Anas bin Malikz, dengan sanad yang shahih.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/192-193).
[9]. Ibid, (X/191).
[10]. Lihat al-Jihaad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/50) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadiry, cet. II/Darul Manarah-Jeddah, th. 1413 H.
[11]. Fiq-hus Sunnah oleh Sayyid Sabiq (III/40) dan al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 481) oleh ‘Abdul ‘Azhim Badawi.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 527) dan Muslim (no. 85 (137)) dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu
[13]. HR. Muslim (no. 84 (136)).
[14]. HR. Ahmad (II/32) sanadnya shahih. Lihat Musnad Ahmad (no. 4873) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (III/477).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 2810, 3126), Muslim (no. 1904) dan Ahmad (IV/392, 397, 402, 405, 417) dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘ahu
[16]. Tafsir Ibnu Katsir (I/270).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 2783, 2825, 3077), Muslim (no. 1353), Abu Dawud (no. 2480), at-Tirmidzi (no. 1590), an-Nasa’i (VII/146) dan Ahmad (I/266) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dan juga oleh Muslim (no. 1864) dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
[18]. Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 44-73) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. II/Daar Ulama’ Salaf, th. 1414 H.
[19]. Lihat al-Jihad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/56) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadir.
[20]. Lihat Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 89-90) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, Taudhiihul Ahkaam Syarah Bulughul Maram (VI/331-332) syarah ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Bassam, cet. V/Maktabah al-Asadi, th. 1423 H.
[21]. Lihat al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 487) oleh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. III/Daar Ibnu Rajab, th. 1421 H.
[22]. HR. Al-Bukhari (no. 1520), Ibnu Majah (no. 2901) dan Ahmad (VI/165), lafazh ini miliki Ibnu Majah.

Keutamaan Jihad, Tujuan Disyari’atkan Jihad, Tingkatan Jihad, Pembagian Jihad

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


KEUTAMAAN JIHAD:

Keutamaan jihad sangat banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Geraknya mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah) di medan perang itu diberikan pahala oleh Allah. [1]
2. Jihad adalah perdagangan yang untung dan tidak pernah rugi. [2]
3. Jihad lebih utama daripada meramaikan Masjidil Haram dan memberikan minum kepada jama’ah haji. [3]
4. Jihad merupakan satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). [4]
5. Jihad adalah jalan menuju Surga. [5]
6. Orang yang berjihad, meskipun dia sudah mati syahid namun ia tetap hidup dan diberikan rizki. [6]
7. Orang yang berjihad seperti orang yang berpuasa tidak berbuka dan melakukan shalat malam terus-menerus. [7]
8. Sesungguhnya Surga memiliki 100 tingkatan yang disediakan Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya. Antara satu tingkat dengan yang lainnya berjarak seperti langit dan bumi. [8]
9. Surga di bawah naungan pedang. [9]
10. Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (1) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (2) dapat melihat tempatnya di Surga, (3) akan dilindungi dari adzab kubur, (4) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, (5) diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, (6) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya. [10]
11. Orang yang pergi berjihad di jalan Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya. [11]
12. Orang yang mati syahid, ruhnya berada di qindil (lampu/ lentera) yang berada di Surga. [12]
13. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali hutang. [13]

TUJUAN DISYARIA’TAKAN JIHAD:

Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka.
Allah al-‘Aziiz berfirman:

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka ber-henti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim”[Al-Baqarah: 193]

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullahu berkata: “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain, sehingga ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah saja tidak kepada yang lain.” [14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah…” [15]

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi (wafat th. 671 H) rahimahullah berkata: “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab ‘qital’ (perang) adalah kekufuran.” [16]

Syaikh as-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan ‘fitnah’ (syirik). Apabila fitnah (kemusyrikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” [17]

Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka bumi. Karena itu sebelum dimulai peperangan diperintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam. [18]

TINGKATAN JIHAD:

Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahulahu jihad memiliki empat tingkatan, [19] yaitu:

Pertama: Jihaadun Nafs (Jihad melawan hawa nafsu).
Jihad ini ada empat tingkatan:

1. Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mempelajari agama yang haq. Seseorang tidak akan dapat mencapai kejayaan, kebahagiaan di dunia dan akhirat melainkan dengan ilmu dan petunjuk. Apabila dia tidak mau mempelajari ilmu yang bermanfaat, maka dia akan celaka dunia dan akhirat.

2. Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. Bila hanya semata-mata berdasarkan ilmu saja tanpa amal, maka bisa jadi ilmu itu akan mencelakainya bahkan tidak bermanfaat baginya.

3. Berjihad untuk mendakwahkannya, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, maka apabila dakwah ini tidak dilakukannya maka hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan baik berupa petunjuk maupun keterangan-keterangan. [20] Maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula dapat menyelamatkannya dari adzab Allah.

4. Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah di jalan Allah dan juga sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah. Apabila terpenuhi keempat tingkatan tersebut maka ia akan termasuk sebagai orang yang Rabbani. Maka, para Salafush Shalih bersepakat bahwa seseorang tidak dapat disebut sebagai seorang yang Rabbani sampai ia dapat mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ia akan disanjung di sisi para Malaikat-Nya.

Kedua: Jihaadus Syaithaan (Jihad Melawan Syaithan)
Jihad jenis ini ada dua tingkatan:

1. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman.
2. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat.

Tingkatan Jihadusy Syaithan yang pertama akan ada sesudah adanya keyakinan dan pada tingkatan yang kedua akan ada sesudah adanya kesabaran.

Allah al-Haafizh berfirman:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah: 24]

Allah mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya dapat diperoleh dengan sabar dan yakin. Sabar itu akan dapat menolak syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak. Sedangkan yakin akan dapat menolak dari keraguan dan syubhat.

Ketiga: Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin
Pada jihad ini terdapat empat tingkatan:

1. Jihad dengan hati.
2. Jihad dengan lisan.
3. Jihad dengan harta.
4. Jihad dengan jiwa

Jihadul Kuffar (jihad melawan orang-orang kafir) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan tangan (kekuatan), sedangkan Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan (kekuatan) lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73] [21]

Keempat: Jihaad Arbaabizh Zhulm wal Bida’ wal Munkaraat (Jihad Melawan Tokoh-Tokoh yang Zhalim, Pelaku Bid’ah dan Kemungkaran)

Pada jihad ini terdapat tiga tingkatan:

1. Dengan tangan apabila sanggup.
2. Apabila tidak sanggup maka dengan lisan.
3. Apabila tidak sanggup maka dengan hati.

Demikianlah tiga belas tingkatan dari jihad.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah ikut berperang dan ia juga tidak terbetik dalam benaknya untuk berperang, maka matinya termasuk dalam satu cabang kemunafikan.” [22]

Jihad harus dilaksanakan bersama ulil amri, baik ulil amri itu baik ataupun jahat.

PEMBAGIAN JIHAD:

Jihad melawan orang-orang kafir dibagi menjadi 2 (dua):

Pertama: Jihadul Fat-h wath Thalab (jihad ofensif).
Jihad ini memerlukan terpenuhinya syarat-syarat syar’iyyah (syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam), sebagai berikut:
1. Adanya seorang imam (pemimpin).
2. Ada Daulah (negara).
3. Ada ar-Raayah (bendera jihad).

Kedua: Jihadud Difaa’ (jihad defensif, pembelaan terhadap sebuah negeri Muslim).

Jihad ini hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh penduduk negeri yang diserang oleh musuh (agresor). Jika penduduk negeri tersebut lemah, maka mereka harus dibantu oleh penduduk negeri tetangganya yang terdekat.

Jihad syar’i harus memiliki persiapan syar’i dan persiapan itu terbagi menjadi 2 (dua):

Pertama, persiapan pembinaan keimanan sehingga umat dapat menegakkan hakekat ibadah kepada Allah Rabb semesta alam, melatih jiwa mereka di atas Kitabullah, mensucikan hati mereka di atas Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka dapat menolong agama Allah Jalla Jalaluhu dan syari’at-Nya.

Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:

“Dan sungguh Allah pasti menolong siapa saja yang menolong (agama)-Nya.” [Al-Hajj: 40]

Kedua, persiapan fisik, yakni mempersiapkan jumlah pasukan dan perlengkapannya untuk melawan musuh-musuh Allah dan memerangi mereka.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfaal: 60]

Menghidupkan kewajiban jihad dengan segala ketentuan syari’atnya adalah wajib dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Memberikan sifat kepada orang-orang yang menghidupkan jihad yang wajib -menurut ketentuan syari’at- dengan kata-kata terorisme adalah kesalahan yang besar, fitnah, tuduhan yang tidak benar dan kesalahan yang fatal serta kebodohan yang sangat.

Adapun melakukan kekacauan (anarki), menteror orang, melemparkan bom, bunuh diri dengan bom mobil, menakut-nakuti orang yang aman atau orang-orang yang dijaga keamanannya oleh negara, membunuh anak-anak, wanita dan orang tua dengan nama jihad dari agama ini adalah tidak benar, perbuatan ini menentang Allah ar-Rafiiq, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin. Mereka telah keluar dari jalannya ulama yang pemahaman ilmunya sangat mendalam. [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Pasal “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri”. Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Taubah:120-121.
[2]. Lihat ash-Shaaf: 10-13
[3]. Lihat at-Taubah: 19-21.
[4]. Lihat at-Taubah: 52.
[5]. Lihat Ali ‘Imran: 142.
[6]. Lihat Ali ‘Imran: 169-171.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 2785), Muslim (no. 1878), at-Tirmidzi (no. 1619) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2790) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 3024-3025) dari Sahabat ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa Radhiyallahu ‘anhu
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 1663), Ibnu Majah (no. 2799) dan (Ahmad IV/131) dari Sahabat Miqdam bin Ma’di al-Kariba Radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[11]. HR. Bukhari (no. 2792), Fat-hul Baari (VI/13-14) dari Sahabat Anas bin Malik.
[12]. HR. Muslim (no. 1887) dan Tirmidzi (no. 3011) dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu
[13]. HR. Muslim (no. 1886) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu at-Tirmi-dzi (no. 1640), dari Sahabat Anas Radhiyallahu ‘anhu, shahih.
[14]. Lihat Tafsiiruth Thabari (II/200).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma
[16]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (II/236), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[17]. Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 89), Mu-assasah ar-Risalah, cet. I, th. 1420 H.
[18]. Muhimmatul Jihad oleh ‘Abdul Aziz bin Rais ar-Rais, th. 1424 H.
[19]. Lihat Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10-11), Muassasah ar-Risalah, cet. XXV/th. 1412H.
[20]. Lihat QS. Al-Baqarah: 159 dan 174.-Pent.
[21]. Lihat juga QS. At-Tahrim: 9
[22]. HR. Muslim (no. 1910), Abu Dawud (no. 2502), an-Nasa-i (VI/8), Ahmad (II/374), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[23]. Lihat Mujmal Masaailil Iman wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushulil Aqidah as-Salafiyyah point 8 tentang Jihad fii Sabilillaah (hal. 57-60).

JIHAD-JIHAD YANG FARDHU ‘AIN

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rohimahulloh-

“Artinya : Dari ‘Aisyah, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2783 kitab al-Jihad wa as-siyar dan Muslim No. 1864 kitab al-Imaarah]

Maknanya : Tidak ada hijrah dari Mekkah karena dia telah menjadi negeri Islam. [Keterangan dari Imam Nawawiy penulis kitab Riyadhush Shalihin -pent]

Permasalahan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain merupakan permasalahan besar yang belum banyak diketahui oleh kaum muslimin. Sehingga banyak para da’i berfatwa dan menyerukan jihad yang hukumnya (dianggap) fardhu ‘ain terhadap setiap pribadi tanpa dasar kaidah yang jelas, dan terkadang dibuat dalam rangka mewujudkan keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok orang tertentu saja. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, kami merasa perlu memuat suatu penjelasan singkat tentang hal tersebut dari seorang alim ulama yang telah dikenal ilmu dan kesholehannya, agar kita semua dapat beramal diatas ilmu, dan mudah-mudahan Allah memberi taufiq-Nya kepada kita untuk berjalan di jalan yang lurus.

Syarah Hadits.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah dengan sabdanya : ” Tidak ada hijrah”.

Peniadaan ini bukan untuk keumumannya, maknanya hijrah tersebut tidak batal dengan penaklukan kota Mekkah, karena hijrah tersebut tidak akan hilang sampai hari kiamat sebagaimana telah ada dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Hijrah tidak terputus sampai taubat terputus, dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud No. 2479 kitab Al-Jihad dan Ahmad dalam Musnadnya 4/99 dan dia ada di Shahihil Jami’ No. 7469]

Akan tetapi yang dimaksud dengan tidak ada hijrah disini adalah tidak adanya hijrah dari Mekkah, sebagaimana dinyatakan oleh penulis (Imam Nawawi) diatas, karena setelah penaklukan kota Mekkah menjadi negeri Islam dan setelah itu tidak akan kembali menjadi negeri kafir, dengan dasar inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan Mekkah.

Mekkah dahulu di bawah kekuasaan kaum musyrikin, mereka telah mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dengan izin Rabbnya ke Madinah. Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, beliau kembali ke Mekkah dan menaklukannya sehingga kota Mekkah menjadi negeri iman dan Islam, dan dengan demikian tidak ada lagi hijrah dari sana.

Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa Mekkah tidak akan kembali menjadi negeri kafir, tetapi tetap menjadi negeri Islam sampai datang hari kiamat atau sampai waktu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.

Kemudian sabda beliau : “Akan tetapi jihad dan niat”

Bermakna : perintah setelah ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah keluar dari Makkah untuk berjihad. Dan “waniyyatun” bermakna : Niat yang baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan cara berniat adalah jihadnya untuk meningkatkan kalimat Allah.

Kemudian beliau bersabda : “Dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”.

Bermakna : Jika waliyul amri (pemerintah) meminta kalian untuk pergi berjihad di jalan Allah, maka kalian wajib berangkat berjihad, dan hukum jihad pada saat itu adalah fardhu ‘ain. Maka jangan seorangpun tidak memenuhinya, kecuali orang yang telah mendapat udzur Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dalil firman-Nya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [At-Taubah : 38-39]

Ini merupakan salah satu keadaan jihad yang dihukumi fardhu a’in.

Keadaan kedua : Jika musuh mengepung satu Negara, bermakna musuh datang menyerang Negara tersebut dan mengepungnya, maka jihad diwaktu itu menjadi fardhu ‘ain. Dalam keadaan seperti ini setiap orang wajib berperang, termasuk para wanita dan orang tua yang mampu berjihad. Karena ini merupakan jihad membela diri (jihad difa’) dan perang membela diri ini berbeda dengan perang menyerang musuh (jihad tholab), sehingga dalam keadaan seperti ini seluruh orang berangkat untuk membela Negara mereka.

Keadaan ketiga : Jika terjadi pertempuran, kedua belah pihak yang berperang saling berhadapan, barisan orang-orang kafir dengan barisan kaum muslimin, maka jihad pada waktu itu hukumnya fardhu ‘ain dan tidak boleh seorangpun berpaling, sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [Al-Anfaal : 15-16]

Demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan kabur dari medan pertempuran termasuk dosa besar yang tujuh.[1]

Keadaan keempat : Jika seseorang dibutuhkan, contoh : tidak ada yang mengetahui penggunaan senjata kecuali hanya satu orang saja, dan orang-orang membutuhkan orang tersebut untuk menggunakan senjata baru, maka wajib atasnya untuk berjihad walaupun imam (waliyul amri) tidak memintanya berangkat dan kewajiban itu ada lantaran dia dibutuhkan.

Maka dalam empat keadaan inilah jihad menjadi fardhu ‘ain, dan yang selainnya adalah fardhu kifayah.

Ahlul Ilmi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk menjadikan sebagian dari mereka berjihad setiap tahun sekali[2], berjihad memerangi musuh-musuh Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bukan karena sekedar membela Negara. Karena membela negara, semata-mata sebagai satu negara, itu bisa dilakukan orang mukmin dan kafir. Orang-orang kafir-pun membela negara mereka. Akan tetapi seorang muslim hanya membela agama Allah, sehingga dia membela negaranya bukan karena sekedar sebagai satu negara akan tetapi karena dia adalah negara Islam, lalu dia membelanya dalam rangka menjaga Islam. Oleh karena itu wajib atas kita pada keadaan yang kita hadapi sekarang ini, untuk mengingatkan seluruh orang bahwa seruan untuk memerdekakan negara dan yang serupa dengannya adalah seruan yang tidak pas, dan wajib bagi kita untuk mendidik manusia dengan pendidikan agama. Dan hendaklah dikatakan : Kita membela agama kita sebelum yang lainnya, karena Negara kita adalah negara agama dan negara Islam yang membutuhkan perlindungan dan pembelaan, maka kita harus membelanya dengan niat tersebut.

Adapun membela dengan niat nasionalisme atau kesukuan maka ini terjadi pada orang mukmin dan kafir, dan perbuatan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat, jika terbunuh dalam keadaan membela Negara dengan niat ini maka dia tidak mati syahid ; karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena kebanggaan (gengsi) dan berperang karena keberanian saja dan berperang karena ingin memperlihatkan kehebatannya, mana yang dikatakan dijalan Allah lalu beliau berkata.

“Artinya : Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2810 kitab al-Jihad wa as-Siyar dan Muslim No. 1904 kitab al-Imarah]

Perhatikan syarat ini !! Jika kamu berperang karena negara, maka kamu dan orang kafir sama, akan tetapi berperanglah karena ingin menegakkan kalimat Allah yang dilaksanakan di negara kamu, karena negara kamu adalah negara Islam, maka pada keadaan seperti ini mungkin perang tersebut dapat dikatakan perang di jalan Allah.

Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Tidak ada luka yang terluka di jalan Allah dan Allah maha tahu siapa yang terluka di jalan Allah kecuali datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengeluarkan darah, warnanya warna darah tetapi wanginya wangi misk (minyak kasturi)” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2803 kitab al-Jihad dan Muslim No. 1876 (105) kitab al-Imaarah]

Perhatikan bagaiman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan mati syahid dengan berperang hanya dijalan Allah, maka wajib atas para penuntut ilmu menjelaskan permasalahan ini kepada umat.

Wallahul Muwaffiq

[Diterjemahkan oleh Abu al-Abbas Kholid bin Syamhudi dari syarah beliau terhadap kitab Riyadush Shalihin 1/24-28, majalah As-Sunnah edisi 12/Tahun V/1422H/2002M, hal. 9-11, dan dinukil dari: http://www.almanhaj.or.id]
_________
Foote Note
[1]. Isyarat kepada hadits Abi Hurairah secara marfu’ : “Artinya : Jauhilah tujuh dosa besar, mereka bertanya : Apakah itu wahai Rasulullaj ?. Beliau menjawab : Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan kebenaran, memakan uang riba, memakan harta anak yatim dan kabur dari medan pertempuran serta menuduh kaum mukminat yang telah menikah yang lalai dengan zinah” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2766 kitab al-Washoya dan Muslim No. 89 kitab al-Iman]
[2]. Yakni suatu negara Islam wajib berjihad -paling sedikit sekali dalam satu tahun- memerangi musuh untuk meningkatkan kalimat Allah, -red