Monthly Archives: Maret 2009

Menggugat Demokrasi – Pemilu Sudah Ada di Awal Sejarah Islam?


Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Mereka mengatakan, dulu Abu Bakar dipilih dan dibaiat. Mereka juga menyebutkan pemilihan Umar dan Utsman. Lihatlah kitab Syar’iyyatul Intikhabat halaman 15.

Jawabannya :
Yang kamu katakan ini tidak benar dengan berbagai alasan.
Sudah merupakan hal yang jelas bagi seluruh kaum Muslimin bahwa pemilu dibangun di atas banyak kerusakan dan hal itu telah kami sebutkan pada kesempatan yang lalu. Maka mustahil para shahabat telah melakukan salah satu dari penyimpangan-penyimpangan tersebut apalagi kita katakan seluruhnya.

Para shahabat berkumpul dan bermusyawarah tentang siapa yang pantas menjadi khalifah kaum Muslimin. Setelah terjadi persilangan pendapat mereka pun bersepakat untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah tanpa ada seorang perempuan pun yang ikut serta. Maka apa dalil kalian setelah ini?!
Abu Bakar mewasiatkan agar khalifah setelahnya adalah Umar. Kemudian para shahabat pun menunaikan wasiat beliau. Adapun Umar beliau menyerahkan perkara ini kepada dewan syura yang terdiri dari enam orang yang tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat beliau ridha terhadap mereka dan masih termasuk 12 orang yang diberi khabar gembira akan masuk Surga. Ini perkara yang benar dan shahih. Adapun tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita maka kalian hendaknya menyimak penjelasan perkara tersebut. Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari sebagaimana termuat dalam Fathul Bari 7/61.

Beliau tidak menyebut tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan wanita. Bahkan yang benar Abdurrahman bin Auf mengumpulkan enam orang yang dibebani urusan tersebut oleh Umar yaitu Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman.

Kisah ini menyebutkan bahwa enam orang yang ada adalah Ahlu Syura bukan selain mereka. Kisah ini benar dan shahih sebagaimana disebutkan di sini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 7/69 dan Adz Dzahabi dalam Tarikh Islam halaman 303 dan Ibnul Atsir dalam At Tarikh jilid 3/36 dan Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tarikhul Umam wal Muluk 4/231. Dan tidak satu pun dari mereka yang menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan kaum wanita. Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan kaum lelaki. Sebagaimana dikatakan Al Hafizh bahwa beliau pada malam tersebut berkeliling kepada para shahabat (laki-laki) dan tokoh-tokoh yang masih ada di Madinah dan semua mereka condong kepada Utsman. Begitu pula yang disebutkan oleh ulama-ulama di atas.
Ya, Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam Al Bidayah wan Nihayah tentang musyawarahnya Abdurrahman dengan para wanita namun kisah ini semuanya tanpa sanad.

Atas dasar penelitian ini dapat kami simpulkan :

1. Kebenaran kisah ini terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari bahwa Abdurrahman berijtihad pada enam orang saja.

2. Beliau juga bermusyawarah dengan para tokoh dan para panglima tentara. Sanad kisah ini ada pada Imam Thabari dan mempunyai jalan-jalan yang saling menguatkan.

3. Kisah musyawarah Abdurrahman bin Auf dengan para wanita tidak mempunyai sanad. Dengan kata lain, kisah tersebut tidak ada asalnya (La ashla lahu). Yakni tidak kita dapati sanadnya yang shahih dalam kitab-kitab Sunnah sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya. Dalil yang menunjukkan bahwa penyebutan musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita tidak ada sanadnya adalah bahwa para pakar sejarah — sebagaimana telah kami sebutkan– tidak menyebutkannya sama sekali hingga yang tanpa sanad sekalipun kecuali Ibnu Katsir rahimahullah. Ini kritik terhadap kisah tersebut dari sisi sanad. Adapun dari sisi matan ia bertentangan dengan nas-nas yang syar’i.

Pemilihan pemimpin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melalui caranya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat dalam bermusyawarah sebagaimana terjadi pada Abu Bakar dan Umar dalam perkara Al Aqra’ bin Habis dan Uyainah dan kisah tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari dan lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat bangkitlah para shahabat untuk memilih khalifah tanpa ada seorang pun dari mereka yang meminta partisipasi orang perempuan dalam memilih khalifah. Begitu pula Abu Bakar telah menjadikan urusan (kekhilafahan) setelahnya pada Umar. Dan umar menjadikan perkara ini pada enam orang yang disebutkan di atas.

Kalau memang dianggap ada sanadnya dan kalaulah memang itu shahih maka itu merupakan penyelisihan terhadap perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat dari sisi Abdurrahman bin Auf radliyallahu ‘anhu.

Intinya, Abdurrahman bin Auf telah dizalimi tatkala dinisbatkan kepadanya bahwa beliau menentang dan menyelisihi nash-nash yang gamblang. Akan tetapi beliau berlepas diri dari hal itu sebagaimana serigala berlepas diri dari darah Nabi Yusuf Alaihis Salam. Karena dasar inilah tidak boleh menyandarkan kisah tersebut kepada Abdurrahman bin Auf radliyallahu ‘anhu, sesungguhnya kisah tersebut adalah dusta.

Kemudian kalaulah kita anggap bahwa Abdurrahman bin Auf bermusyawarah bersama para wanita dan anak-anak, persoalan berikutnya adalah apakah beliau bermusyawarah bersama perempuan-perempuan lacur dan para pelaku kemaksiatan? Ataukah beliau bermusyawarah dengan orang-orang shalih yang memiliki ilmu dan makrifat?

Jika kalian menjawab dengan yang pertama berarti kalian telah jatuh. Dan jika kalian menjawab dengan yang kedua berarti gugurlah hujjah kalian. Karena pokok permasalahannya terletak pada mempersamakan pendapat para pelaku maksiat dengan pendapat Ahli Ilmu.

Satu hal yang umum diketahui bahwa ekspansi kekuasaan Daulah Islam pada zaman Umar telah menjangkau wilayah-wilayah yang teramat luas. Kami hendak bertanya, apakah Abdurrahman mengangkat seorang pejabat sementara kemudian membagi Daulah Islam itu menjadi distrik-distrik pemilihan, mengumpulkan suara kaum Muslimin seluruhnya dan mengambil suara terbanyak? Ataukah beliau hanya mencukupkan diri dengan penduduk Madinah, negeri turunnya wahyu yang di dalamnya terdapat Ahlul Halli wal Aqdi? Wallahul Musta’an.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: http://www.assunnah.cjb.net)

Menggugat Demokrasi – Sistem Demokrasi Selaras Dengan Islam?

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Orang yang menyelisihi kami tidak menjawab dengan mantap ketika mereka ditanya : “Mengapa kalian menerima demokrasi?” Kadang mereka menjawab : “Demokrasi di negeri kami sama artinya dengan ‘syura’. Di dalam Al Quran sendiri ada surat yang bernama Asy Syura dan Allah Ta’ala berfirman : “Bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu.” Dan Allah juga berfirman : “Dan perkara mereka dengan musyawarah di antara mereka.” Kadang mereka mengatakan demokrasi itu ada dua macam, pertama demokrasi yang menyelisihi syariat dan kami mengingkarinya. Sebab demokrasi semacam ini merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan hukum kepada rakyat bukan kepada Allah. Yang kedua demokrasi yang sesuai dengan syariat yaitu hak umat untuk memilih pemimpinnya, mengawasi mereka, mengangkat mereka dan memecat mereka. Yang kedua ini kami beriman padanya dan kami berupaya untuk mengabdi Islam dari sisi ini. ] Kali lain mereka mengatakan : “Kami semua dalam kondisi terpaksa!” Atau mereka mengatakan demokrasi diambil dengan mengikut kaidah (mengambil) bahaya yang paling ringan. Yang tergambarkan dalam berbagai contoh-contoh logis –walaupun dipaksakan– yaitu sampaikanlah dan jangan pernah merasa ragu. Saya hanya ingin menyingkap tabir dari jawaban berikut ini berupa hal-hal yang serba menakjubkan. Adapun jawaban yang pertama dan dua jawaban yang lainnya telah berlalu penjelasannya. Sedangkan ucapan mereka bahwa demokrasi selaras dengan Islam dari satu segi atau selaras dengan Islam secara global mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak mengangkat penggantinya sementara Abu Bakar mengangkat penggantinya yakni Umar. Dan Umar mengangkat penggantinya yang terdiri dari enam orang dan sepakat untuk memilih salah satu dari enam orang tersebut. Saya katakan, kalaulah kita terima bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengeluarkan isyarat tentang kekhilafahan Abu Bakar setelahnya tentu orang yang paham akan mengerti dan orang yang bodoh tetap akan bodoh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah dan orang-orang yang beriman menolak semua calon pengganti Nabi kecuali Abu Bakar.” Dan beliau juga bersabda : “Berikan kepadaku suatu kitab untuk saya tulis kepada kalian. Kalian tidak akan sesat setelahku dan agar tidak mengangan-angankannya dan seterusnya … .” Kalaulah benar bahwa Rasulullah tidak mengangkat pengantinya, manakah pendalilan atas celah perselisihan dari apa yang telah kalian sebutkan? Kami bertanya, apakah umat memiliki hak untuk memilih penguasanya dengan cara apa saja meski menyelisihi Al Quran, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan Sunnah? Jika kalian mengatakan iya maka jelaslah siapa sesungguhnya kalian dan manusia akhirnya mengetahui pemikiran kalian yang rusak. Maka dalil-dalil ini terarah kepada kalian maka runtuhlah kebatilan ini dan kokohlah pancang-pancang kebenaran. Jika kalian mengatakan tidak maka umat tidak memiliki hak untuk memilih penguasanya kecuali dengan cara yang syar’i dan benar atau minimal dengan cara yang tidak ada larangannya dalam syariat. Kami katakan, dari sini usailah perselisihan dengan disebutkannya dalil-dalil yang begitu banyak yang menunjukkan kebatilan sebagian perkara ini. Sesungguhnya sebagian perkara tersebut merupakan cabang dari pohon yang busuk. Bahkan pemilu merupakan akar dari demokrasi dan merupakan tangga yang dipakai untuk memperbudak manusia sebagian atas sebagian yang lain dengan cara mengikuti apa yang dihalalkan oleh para anggota dewan dan meninggalkan yang diharamkan oleh mereka. Allah telah mencela orang yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai pembuat hukum selain Allah. Allah berfirman : “Mereka telah menjadikan pendeta dan pastur mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.” Lalu bagaimana para pencari kayu bakar pada malam hari (Maksudnya, orang mencari sesuatu namun dia tidak mempunyai pengetahuan tentang yang dicarinya (asal ambil). (Pent.)) membuat hukum dari selain Allah? Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang besar! Adapun kalau dikatakan “terpaksa” sudah dimaklumi hal ini ada syarat-syaratnya maka terpenuhikah syarat-syarat tersebut pada kalian? Begitu pula tentang kaidah “mengambil mudharat yang terkecil” apakah telah kalian jaga batasan-batasan yang telah dijelaskan Ahlul Ilmi dan semuanya ini akan datang jawabannya dengan rinci pada tempatnya, Insya Allah. Adapun terhadap contoh-contoh yang logis maka jawabannya ialah bahwa akal yang sehat tidak akan menyelisihi penukilan (dalil) yang shahih seperti yang telah dijabarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang tidak tertandingi, Dar’u Ta’arudh Al Aql wan Naql dan seandainya dengan akal dikatakan cukup tentulah Allah Azza wa Jalla tidak mengutus Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya. (Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: http://www.assunnah.cjb.net)

Menggugat Demokrasi – Membantah Syubhat

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al ImamSegala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan memohon ampunan dari-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kami juga dari kejelekan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya tak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwasanya tidak ada zat yang berhak diibadati selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Karena syubhat-syubhat yang digembar-gemborkan para pendukung pemilu banyak terlebih lagi kerusakan yang ditimbulkan olehnya tidak lebih sedikit dari kerusakan pemilu itu sendiri sehingga syubhat-syubhat yang menjadikan seorang Muslim dalam keadaan bingung dan ragu dalam menyikapi kebenaran dan menerimanya. Dan terkadang syubhat-syubhat ini membuat seorang Muslim lemah dan tidak berdaya. Dengan syubhat-syubhat ini menyeret seorang Muslim sehingga bisa menyimpang dari kebenaran lalu condong kepada kebatilan. Karena inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memperingatkan umatnya agar tidak mendekat kepada orang- orang yang membawa syubhat.

Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda :
“Barangsiapa mendengar Dajjal maka waspadalah, demi Allah sesungguhnya seseorang pasti akan didatanginya dan dia menyangka bahwa dia (Dajjal) Mukmin lalu mengikutinya dengan sebab bangkitnya yang membawa syubhat.”

Betapa banyak kaum Muslimin yang pada mereka ada kebaikan namun mereka menceburkan diri ke tempat-tempat yang banyak mengandung syubhat. Karena itulah mereka kerapkali goyah dan terguncang. Syubhat yang banyak menyelimuti para penuntut ilmu dan da’i ke jalan Allah itu sangat samar dan tersembunyi terlebih-lebih pada awal munculnya. Karena itu haruslah disebutkan syubhat- syubhat yang ada pada perkara pemilu ini kemudian disebutkan bantahannya secara singkat, Insya Allah Azza wa Jalla. Mengetahui syubhat sangatlah membantu seorang Muslim untuk menjauhi kebatilan.

Tidak diragukan lagi bahwa keselamatan bagimu, wahai saudaraku Muslim akan terwujud dengan menjauhi syubhat sebagaimana yang dibimbingkan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Bahkan perbuatan ini merupakan ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika kamu tidak menjauhinya maka sangat dikhawatirkan kamu akan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ini bila kamu bukan orang yang memenuhi syarat untuk membantah syubhat dan menjelaskan kebenaran dengan dalil-dalil syar’i.

Tidak betul bahwa setiap orang yang memiliki ilmu syar’i pasti memiliki kemampuan untuk membantah syubhat-syubhat. Bahkan ia harus menyadari terlebih dahulu bahwa ilmu yang ia miliki tidak cukup untuk melancarkan bantahan hingga digabungkan padanya pengetahuan yang mendalam tentang manhaj Salaf dan pengetahuan tentang bagaimana interaksi mereka bersama para ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang.
Demikian pula seharusnya para da’i memohon ketegaran pada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agama-Mu!”

Dalam hal ini ada hantahan terhadap syubhat-syubhat tersebut yakni mengembalikan syubhat-syubhat tersebut kepada kaidah yang benar dan jelas. Umpamanya ada sekelompok dokter menyatakan sesuatu itu bermanfaat namun sebagian mereka mengatakan bahwa itu adalah racun yang mematikan. Yang lain lagi mengatakan bahwa benda itu berbahaya tapi tidak beracun. Sebagian lain lagi mengatakan mengandung manfaat namun ada madharatnya. Bukankah logika menuntut untuk meninggalkan sesuatu yang diperselisihkan ini?

Begitu pula syubhat dalam pemilu. Para ulama yang mengikuti Manhaj Salafus Shalih telah sepakat bahwa sistem pemilihan umum itu berasal dari musuh-musuh Islam dan tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak pula datang dari para pendahulu umat ini. Kesepakatan ini bulat tanpa ada khilaf dalam wajibnya mengambil kesepakatan ini.

Kemudian mereka berselisih, sebagian mereka ada yang mengatakan di dalamnya tidak ada kebaikan dan justru ada padanya keburukan-keburukan sebagaimana yang berlalu penjelasannya. Lalu mereka pun meninggalkannya secara total.

Di antara mereka ada yang berpendapat pemilu mengandung kebaikan dan kejahatan namun kejahatannya lebih besar daripada kebaikannya. Maka meninggalkannya secara total lebih utama.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa pemilu mengandung keburukan dan kebaikan namun kebaikannya lebih banyak dari kejahatannya. Tidakkah masuk di akal bahwa meninggalkan pemilu dan menolaknya itu lebih selamat dan lebih melanggengkan Islam? Hanya saja hawa nafsu telah memisahkan kebenaran dari umumnya manusia.

Firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini :
“Dengan kesabaran kamu bisa meninggalkan syahwat dan dengan keyakinan kamu bisa meninggalkan syubhat.”

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: http://www.assunnah.cjb.net)

Menggugat Demokrasi – Kami Tidak Ingin Memberi Peluang Kepada Musuh!

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam
“Kami tidak ingin memberi peluang kepada musuh dari kalangan sekuler, sosialis, dan lain-lain.”
Jawabannya :
Kami juga tidak menginginkan musuh-musuh Allah mempunyai jalan untuk menyerang orang-orang Mukmin namun kami katakan kepada saudara-saudara sekalian apa yang kalian telah persiapkan untuk tindakan ini? Jika kalian mempergunakan sarana yang sama dengan mereka dan kalian tunduk kepada UU mereka maka kalian tidak dapat memperoleh sesuatu pun kecuali dengan banyak mengalah dan mengalah lagi. Kadang mereka mengatakan, kami berambisi untuk mencapai mayoritas suara majlis perwakilan. Anggaplah kalau kalian telah mencapai jumlah mayoritas lantas apakah kalian boleh untuk menerapkan hukum dengan hukum mayoritas? Jawabannya : Tidak boleh!
Sungguh kita telah mendengar paduan suara semacam ini yakni bagaimana mungkin kita memberi peluang kepada musuh? Apakah kalian suka dikuasai oleh orang-orang sekuler atau sosialis atau yang lainnya? Mereka melarang kalian untuk mengajar, berdakwah ilallah dan menghalangi Islam? Kenyataan menegaskan kepada kita bahwa koor mereka ini merupakan bentuk kampanye untuk pemilu kalau tidak maka apa hasil yang telah dicapai selama 60 tahun ini?
Sungguh mereka telah mencapai suara mayoritas di MPR seperti di Pakistan, Turki, Yordania, Kuwait, Yaman dan lainnya. Namun tidak pernah terjadi bahwa mereka mengubah sistem jahili, melawan para musuh dan bahkan sebaliknya mereka berkhidmat terhadap musuh dan berkoalisi dengan mereka di kebanyakan negara. Ini terang sekali laksana terangnya matahari di siang bolong. Adapun kami, sungguh tidak suka dikuasai oleh siapapun kecuali orang-orang shalih. Jika tidak ada orang yang shalih dan sulit terwujud yang demikian ini maka kami bersabar terhadap penguasa yang ada. Kami nasihatkan mereka dengan Al Quran dan As Sunnah, jika mereka memerintahkan dengan kemaksiatan kami tidak memaki mereka. Kami ingatkan mereka tentang balasan-balasan Allah terhadap umat-umat terdahulu. Tatkala mereka mempopulerkan kemaksiatan serta memerangi Allah dengan manhaj dan konsepnya.
Kami ingatkan mereka bagaimana Allah telah merobohkan umat terdahulu, melenyapkan kekuasaan mereka, dan membuat musuh menguasai mereka. Kemudian musuh pun merampas apa yang ada dengan tangan mereka lalu menimpakan kepada mereka bencana yang sangat dahsyat. Kami bukanlah tipe orang yang mengandalkan semangat bukan pula orang yang suka membikin keributan yang suka memunculkan madharat yang lebih besar daripada manfaat. Bukan pula orang yang suka mengetuk pintu-pintu (mengais rizqi di hadapan) penguasa. Dan juga bukan termasuk orang yang suka meminta-minta kepada mereka. Kami tidaklah menganggap sah penyimpangan mereka dari shirathal mustaqim.
Seperti inilah dahulu manhaj Salaful Umat yang sebenarnya. Namun kita pada zaman sekarang ini telah mendapatkan banyak ujian dengan kaum-kaum yang jika diberi sesuatu oleh penguasa berupa dunia dan pekerjaan mereka pun ridha. Lalu mengatakan penguasa tersebut lebih baik daripada yang lainnya. Tatkala mereka tidak diberi oleh penguasa, mereka pun marah, berlindung ke masjid- masjid, naik mimbar untuk mengkafirkan pemerintah, menyerukan dan memprovokasi untuk berjihad melawan mereka. Apabila kami mendakwahi mereka agar bermanhaj Salaf –yang memerintahkan untuk menasihati penguasa dan tidak mengekspos kezaliman mereka– maka komentar mereka : “Itulah para kacung penguasa!”
Saya tidak tahu, demi Allah siapa yang paling pantas menyandang sifat ini? Apakah orang yang menghindar dari majelis mereka (para penguasa) ataukah orang yang berdiri di pintu-pintu mereka pada pagi dan sore hari.
(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: http://www.assunnah.cjb.net)