Monthly Archives: Desember 2008

KEUTAMAAN TAUHID DAN BAHAYA SYIRIK

A. MAKNA TAUHID
Tauhid, yaitu seorang hamba meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (ibadah), Asma` (nama-nama) dan SifatNya.
Urgensi Tauhid: Seorang hamba meyakini dan mengakui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa, Rabb (Tuhan) segala sesuatu dan rajanya. Sesungguhnya hanya Dia yang menciptakan, mengatur alam semesta. Hanya Dia lah yang berhak disembah, tiada sekutu bagiNya. Dan setiap yang disembah selain-Nya adalah batil. Sesungguhnya Dia , bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Dia  mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi.

Tauhid merupakan kewajiban pertama yang Allah wajibkan kepada umat manusia, dan sebaliknya larangan pertama yang Allah larang kepada mereka adalah syirik. Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 21-22]

B. TAUHID ADALAH PERKARA YANG PALING PENTING DAN UTAMA

Tanpa diragukankan lagi bahwa tauhid adalah hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap hamba yang menginginkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat, karena tauhid adalah hak Allah Ta’ala yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada Mu’adz bin Jabal, “Wahai Mu’adz apakah hak Allah atas hambaNya?” Jawab Mu’adz, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”, lalu Rasulullah menyatakan bahwa “Hak Allah atas hamba adalah seorang hamba beribadah hanya kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Tauhid itu pula yang menjadi tujuan dan hikmah teragung diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (menyembah) kepada-Ku”. [QS. Adz-Dzaariyaat: 56]

Seorang hamba memang sudah seharusnya mempelajari tauhid, memahaminya, dan mengamalkan konsekuensinya. Berikut ini akan disebutkan tentang beberapa keutamaan tauhid selain yang telah di sebutkan di atas.

C. BEBERAPA KEUTAMAAN TAUHID
Allah tidaklah mewajibkan suatu perkara, melainkan pasti padanya terdapat keutamaan-keutamaan yang sangat mulia. Begitu pula dengan “Tauhid” yang merupakan paling wajibnya perkara dari perkara-perkara yang paling wajib, pasti mempunyai berbagai keutamaan. Di antara keutamaan-keutamaan tauhid itu ialah :

1. Tauhid adalah tingkat keimanan yang tertinggi
Rasulullah bersabda :

“Iman itu memiliki enam puluh sekian cabang, paling tingginya adalah perkataan / ucapan Laa Ilaaha Illallah dan paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan.” (H.R. Muslim)


Perlu diketahui bahwa Laa Ilaaha Illallah tidak cukup hanya diucapkan di lisan saja. Akan tetapi harus bersumber dari hati yang ikhlas dan kemudian dibuktikan dengan pengamalan dari apa yang dikandung oleh Laa Ilaaha Illallah yaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Sebagaimana sabda Nabi:

فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَإِلهَ إِلاّ الله يَبْتَغِي بِذَ لِكَ وَجْهَ اللهِ ( متفق عليه َ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi neraka orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan mengharap wajah Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Tauhid sebagai syarat utama diterimanya semua amal ibadah
Allah berfirman :

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [QS. Al-An’aam: 88]

Amalan-amalan ibadah orang musyrik tidak akan diterima oleh Allah dan sebaliknya orang Muwahhid (ahli tauhid) akan diterima oleh Allah amalan ibadahnya.

3. Tauhid merupakan sebab utama dihapuskannya dosa
Hal ini didasarkan kepada firman Allah :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.[QS. An. Nisaa’: 48, 116]

4. Orang yang benar-benar merealisasikan tauhid akan masuk jannah (surga) tanpa hisab
Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Nabi Muhammad yang masuk jannah tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah bersabda :


هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَكْتَوُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ( رواه الترمذي )

“… mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (pengobatan dengan menggunakan api) dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah.” (H.R. At Tirmidzi)

5. Orang yang tauhidnya benar akan masuk surga
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah :


مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِه شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ ( رواه مسلم )


“Barangsiapa bertemu Allah (meninggal dunia) dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu (apapun), niscaya dia akan masuk surga.” (H.R. Muslim)


Adapun masuknya orang yang tidak berbuat syirik ke dalam surga maka itu merupakan hal yang pasti. Akan tetapi jika dia bukan pelaku dosa besar yang terus menerus dilakukan sampai meninggal dunia maka dia akan langsung masuk surga. Sedangkan jika dia pelaku dosa besar hingga akhir hayatnya dan belum bertaubat maka yang demikian di bawah kehendak Allah . Jika Allah mengampuni, maka akan masuk surga secara langsung tanpa diadzab. Dan jika tidak diampuni, maka akan diadzab terlebih dahulu kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. (Fathul Majid hal. 84).

6. Tauhid merupakan sumber keamanan
Sebagaimana firman Allah :


“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. Al-An’aam: 82]

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : “Orang-orang yang mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah saja dan mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, mereka itu akan mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk di dunia dan akhirat.” (Fathul Majid hal. 36)
Yang dimaksud dengan kedhaliman pada ayat di atas adalah syirik sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud :
”Tatkala turun ayat ini, para shahabat berkata : “Siapa di antara kami yang tidak pernah mendhalimi dirinya ?” Kemudian Rasulullah bersabda : “Bukan demikian maksudnya, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman: sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedhaliman yang besar.” (H.R. Al Bukhari)
Itulah di antara keutamaan-keutamaan tauhid yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.


BAGAIMANAKAH BAHAYA SYIRIK?
Syirik merupakan lawan dari tauhid. Oleh karena itu di saat tauhid mempunyai banyak keutamaan maka syirik pun sangat berbahaya dan mempunyai banyak mudharat. Di antaranya adalah :

1. Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah
Sebagaimana firman Allah

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.[QS. An. Nisaa’: 48, 116]

2. Kesyirikan adalah kedhaliman yang paling besar
Firman Allah :

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedhaliman yang besar.” (Q.S. Luqman : 13)


3. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik akan masuk neraka dan kekal di dalamnya

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”[QS. Al-Ma-idah: 72]

Rasulullah juga bersabda :


مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa meninggal dunia dan dia berdo’a kepada selain Allah niscaya dia masuk neraka.” (H.R. Al Bukhari)

4. Kesyirikan penyebab terpecah belah belahnya umat Islam
Firman Allah :

“Dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,

Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [QS. Ar-Ruum: 31-32]

Setelah kita mengetahui betapa pentingnya perkara tauhid dan begitu bahayanya perbuatan syirik, maka kami mengajak kepada para da’i/mubaligh agar mengutamakan dalam da’wahnya perkara tauhid dan memperingatkan umat dari bahaya syirik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabat beliau, bahkan para rasul seluruhnya. Allah berfirman :

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [QS. An-Nahl: 36]

Wallahu A’lam Bish Shawab.

KEWAJIBAN MENGIKUTI CARA BERAGAMANYA PARA SAHABAT

Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 115)

Allah I berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisa’ ayat 115)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat jalannya orang-orang mukmin(bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya: Bahwa Allah I telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang Rasul e dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah e dan didakwahkan serta diamalkan oleh Rasulullah e bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya ke mana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing di dalam kesesatan).

Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita mengikuti “jalannya orang-orang mukmin” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah, diantaranya ayat di atas.

Jika dikatakan: Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mukmin??

Saya jawab berdasarkan istimbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:

Pertama: Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mukmin di permukaan bumi ini selain dari para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.

Kedua: Mafhumnya, bahwa orang-orang mukmin yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mukmin sebagaimana ketegasan firman Allah I di atas.

Ketiga: Kalau orang-orang mukmin di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang-orang mukmin yang manakah? Apakah mukminnya Khawarij atau Syiah/Rafidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau… atau…?

Keempat: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.

Kelima: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah I telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Surat Muhammad ayat 16).

Keenam: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling taqwa kepada Allah I secara umum hanyalah para sahabat.

Ketujuh: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.

Kedelapan: Perjalanan orang-orang mukmin yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali ijma’ para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mukmin”.

Kesembilan: Perjalanan orang-orang mukmin yang tidak pernah berselisih di dalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.

Kesepuluh: Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka. (bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh imam Ibnul Qayyim)

Kesebelas: Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. (idem)

Keduabelas: Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah I memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka. (Surat Al-Baqarah ayat: 13).

Ketigabelas: Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah I dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.

Keempatbelas: Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merakapun ridha kepada Allah. (surat At-Taubah ayat 100).

Kelimabelas: Perjalanan para sahabat menjadi dasar, bahwa Allah I akan meridhai perjalanannya orang-orang mukmin dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para sahabat”. Mafhumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya al-Muhajirin dan al-Anshar. (surat At-Taubah ayat 100)

Keenambelas: Sebaik-baik sahabat para Nabi dan Rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah e.

Ketujuhbelas: Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. (tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath ayat 29).

Kedelapanbelas: Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. (surat Al-Baqarah ayat 13).

Kesembilanbelas: Rasulullah e telah bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka”. (Hadits shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain).

Generasi pertama adalah para sahabat, yang kedua adalah tabi’in dan yang ketiga adalah tabi’ut-tabi’in. Mereka inilah yang dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’/ mengikuti cara beragama kita dalam memahami dan mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas.

Keduapuluh: Rasulullah e telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan):

فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ

“Hendaklah orang yang hadir di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat).

Hadits yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah e untuk bertabligh dan berdakwah. Sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadits yang mulia ini memberikan pelajaran yang sangat tinggi kepada kita diantaranya:

ü Bahwa dakwah mereka adalah hak dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia e.

ü Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah e. Kalau tidak, tentu Rasulullah e tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.

ü Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat.

ü Bahwa mereka telah dita’dil (dinyatakan bersifat ‘adalah: tsiqah/terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah I, dan oleh Nabi mereka. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah atau Rafidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang yang sefaham dengan mereka yang dahulu dan sekarang.

ü Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.

Keduapuluhsatu: Rasulullah e telah bersabda:

لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

“Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setengan mud”. (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim).

Keduapuluhdua: Para sahabat secara umum telah dijanjikan Jannah (sorga). (At-Taubah ayat 100 dan Al-Hadid ayat 10).

Keduapuluhtiga: Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi e sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali t dan lain-lain.

Keduapuluhempat: Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah I di dalam Kitab-Nya yang mulia (tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55).

Keduapuluhlima: Perjalanan orang-orang mukmin yang paling kuat “ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tarikh.

Keduapuluhenam: Di dalam ayat yang mulia ini Allah I tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…, niscaya akan Kami palingkan dia…”. Seandainya Allah I mencukupkannya sampai di situ, yakni tanpa firman-Nya: “Dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin (yaitu para sahabat)”, niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Islam, baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini. Karena masing-masing dari mereka mengatakan, kami di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.

Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah I mengkaitkan dengan dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –yaitu para sahabat– ”. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mukmin yaitu para sahabat”. Jadi, urutan

dalilnya sebagai berikut:

Al-Qur’an

As-Sunnah

Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragamanya mereka, aqidah dan manhaj.

والله تعالى أعلم بالصواب وهو الموفق والهادي إلى سواء السبيل, وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم, وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

PELAJARAN TENTANG MANHAJ SALAF

Oleh : Asy Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Ubailan

Pembahasan pertama :

Yang dimaksud dengan Salafush Shalih

Ø Secara bahasa

Ibnul Faris berkata : Huruf sin dan lam dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan “makna terdahulu” termasuk Salaf dalam hal ini adalah “orang-orang yang telah lampau” dan arti dari القوم السلاف : mereka yang telah terdahulu.

Ø Secara istilah

Para peneliti berbeda pendapat tentang arti dari “Salaf” dan terhadap siapa kata Salaf diberikan, dan pendapat-pendapat ini banyak sekali, tetapi yang paling penting ada 4 pendapat :

1. Sebagian peneliti (dari kalangan para ulama’) berpendapat untuk menentukan madzhab Salaf pada suatu zaman tertentu dan tidak melebihi zaman itu, kemudian mereka yang berpendapat seperti ini menduga bahwa “Fikir Islami” berkembang sesudah itu pada tangan orang-orangnya.

2. Sebagian lainnya berpendapat bahwa Salaf adalah mereka yang bersandar pada nash-nash (teks-teks) saja, dan mereka tidak menta’wilkan sesuatu dengan amal, dan mereka itu (sesudah itu) menyerahkan nash-nash tanpa memahami apa yang menunjukkan padanya, dan menyerahkan maknanya kepada Allah, dan bahwasanya mereka itu tersibukkan dengan berbagai macam ibadah dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah yang mereka pandang paling bermanfaat.

3. Dan ada juga suatu kelompok yang menyangka bahwa apa yang berkembang dari pelajaran-pelajaran amal dalam ilmu kalam, tumbuh dari madzhab Salaf, bukanlah disebabkan pengaruh dari luar.

4. Ada juga (para peneliti) yang menyangka bahwa madzhab Salaf dengan berbagai tujuan-tujuan dan aliran, dan bahwasanya aliran-aliran ini walaupun berbeda-beda dalam manhaj tapi diambil dan tumbuh di tangan ulama’ Islam.

Dan mereka yang berpendapat seperti ini telah salah dalam menentukan yang dimaksud dengan Salaf, yang demikian itu mereka melihat masalah ini tidak benar bila didasarkan pokok-pokok manhaj, dan tidak berjalan di atas jalan yang jelas.

Dan agar kita sampai pada pemahaman yang benar yang menentukan maksud pada istilah Salaf dengan penentuan yang teliti, maka kita diharuskan mengambil pelajaran pada beberapa perkara yang penting dari masalah ini.

Perkara Pertama :

Mengenal penetuan berdasarkan zaman untuk menerangkan permulaan madzhab Salaf.

Dan tentang hal ini juga terdapat berbagai macam pendapat yang terbagi menjadi empat :

1. Di antara para ulama’ ada yang meringkas makna Salaf yaitu hanya para Shahabat Nabi saja.

2. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para Shahabat Nabi dan Tabi’in (mereka yang berguru kepada Shahabat).

3. Dan di antara mereka ada juga yang berkata : Bahwa Salaf adalah mereka yang hidup sebelum tahun 300 H (yaitu 1 H hingga 300 H). dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar ulama’ ahli sunnah berpendapat adalah pendapat ketiga yang mana yang dumaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama 300 tahun yang Rasulullah menyebutkan dalam haditsnya.

Perkara Kedua :

Bahwa penentuan zaman tidak cukup untuk memahami makna Salaf, karena kita melihat bahwa kebanyakan dari kelompok-kelompok yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah muncul pada masa itu (yaitu masa 300 H).

Oleh karena itu kita menyaksikan kebanyakan para ulama’ membatasi istilah Salaf ini ketika istilah ini diucapakan dengan (menambah) perkataan “As Salafush Shalih”. Walaupun mengucapkan secara mutlak diperbolehkan pada istilah para ulama’ dalam demikian itu.

Oleh karena itu lafadh “Salaf” ketika diucapkan wajib untuk diartikan tidak hanya makna waktu lampau (terdahulu), tetapi wajib diartikan dengan makna para Shahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dengan syarat iltizam (berpegang teguh) dengan metode mereka (para Shahabat Nabi).

Perkara Ketiga

Bahwa sesudah (adanya) kelompok-kelompok menyimpang dan terjadinya perpecahan, maka menjadilah kandungan arti Salaf sesuai dengan orang yang menjaga keselamatan aqidah (keyakinan) dan metode Islami, sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih yang hidup pada tiga kurun yang mempunyai keutamaan (1 H – 300 H). Dan sebagian dari para ulama’ ada yang mengistilahkan Salaf dengan nama-nama lain yang sesuai dengan syari’at Islam yaitu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, hanya saja kata Salaf lebih spesifik dari kata Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Pembahasan Kedua

Dalil-dalil berkenaan dengan wajibnya mengikuti Salafush Shalih dan berpegang teguh dengan madzhab mereka.

Ø Dalil dari Al Qur’anul Karim.

Ä (QS. An Nisa’ : 115)

Ä (QS. At Taubah : 100)

Maka Allah mengancam dengan adzab neraka jahannam (dalam ayat 115 surat An Nisa’) bagi siapa mengikuti jalan selain jalan-Nya, dan menjanjikan bagi siapa yang mengikuti (nya) dengan surga dan keridhaan-Nya, (dalam surat At Taubah ayat 100).

Ø Dari dalil Hadits

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah telah bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya”. (Muttafaqun alaihi)

Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah : “… Barang siapa di antara kalian yang hidup maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib …”. (lihat terjemahan edisi II)

Maka Nabi mengkhabarkan kepada ummat beliau agar mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khualafaur Rasyidin (Abu Bakar, ”’Umar bin Khathab, ”Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) yang hidup sepeninggal beliau. Yang demikian itu ketika mereka terjatuh ke dalam perselisihan dan perpecahan, sebagaimana sabda Rasulullah menyebutkan tentang “Firqatun Najiyah” (kelompok yang selamat) dalam hadits beliau :

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي

(Kelompok yang selamat adalah) kelompok yang berada di atas pemahamanku dan pemahaman shahabat-shahabatku”.

Maka pengikut mereka (Salafush Shalih) adalah termasuk kelompok yang selamat (Firqatun Najiyah), dan (mereka) yang menjauhi Salafush Shalih adalah termasuk orang-orang yang diancam (dengan siksa).

Dalil dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi”.

Dari dia juga, ia berkata : “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh Shahabat Rasulullah, karena para Shahabat Nabi adalah ummat yang paling baik hatinya, dan ummat yang paling dalam ilmunya, dan ummat yang paling baikkeadaannya. Para Shahabat Nabi adalah sesuatu kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya, dan menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan para Shahabat Nabi, dan ikutilah jejak Shahabat Nabi, maka sesungguhnya mereka di atas jalan yang lurus”.

Ä Imam Al Auza’I berkata : “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah dirimu sebagai suatu kaum berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan Shahabat Nabi, dan tahanlah (dirimu) dariapa yang para Shahabat Nabi menahan diri mereka darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang meluaskan mereka akan meluaskan dirimu”.

Pokok metode Salaf

Dalam beraqidah (keyakinan)

1. Mereka (Salafush Shalih) mencukupkan dalam mngambil masalah I’tiqat (keyakinan) pada Kitabullah (Al Qur’an) dan (hadits) sunnah Rasulullah.

2. Mereka (Salafush Shalih) berhujjah dalam maslah aqidah dengan hadits-hadits shahih, dan mereka tidak membedakan antara hadits Mutawatir (periwayat haditsnya banyak), dengan hadits ahad (periwayat haditsnya hanya satu). Dan hadits-hadits yang terdapat pembicaraan tentangnya (shahih atau bukan) yang t ersebut dalam kitab-kitab mereka, tidak mereka keluarkan (tulis) untuk menetapkan pokok atau dasar dan hanyalah ….

3. Mereka (yang berpegang pada metode salaf) memahami nash-nash (teks-teks) adalah berdasar dengan perkataan Salafush Shalih, tafsir-tafsir (keterangan-keterangan) Salafush shlaih, dan nukilan-nukilan mereka.

4. Menyerah dan tunduk terhadap wahyu Allah (Al Qur’an) dan beramal dengan nyata, dan tidak mendalam-dalam dalam perkara yang ghaib yang akal tidak sampai padanya.

5. Tidak mendalam-dalam dalam ilmu kalam dan falsafah serta menolak ta’wil secara ilmu kalam.

6. Mengumpulkan di antara nash-nash pada satu masalah.

Keistimewaan aqidah Salaf yang mana dengan aqidah ini Salafush Shalih mempunyai ciri khas dari kelompok-kelompok lain.

1. Bahasa aqidah Salaf diambil dari “mata air yang jernih” (yaitu Al Qur’an dan Al Hadits) jauh dari kotoran hawa nafsu dan subhat-subhat (kesamaran-kesamaran) dan tidak ada ta’wil-ta’wil yang dikutip dari luar.

2. Aqidah Salaf akan meninggalkan dalam jiwa rasa tenang dan tentram, dan menjauhkan seorang muslim dari keragu-raguan serta dugaan-dugaan.

3. Aqidah Salaf menjadikan kedudukan seorang muslim, sebagaimana kedudukan seorang yang mengagungkan Al Qur’an dan sunnah. Karena ia mengetahui bahwa segala apa yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits (yang shahih) adalah haq yang benar dan pada yang demikian itu terdapat keselamatan yang besar, dan keistimewaan yang besar.

4. Aqidah Islamiyyah akan menyudutkan suatu sifat yang Allah meridhainya. (yaitu sifat yang disebutkan) dalam firman Allah : (QS. An Nisa’ : 65)

5. Aqidah Islamiyyah akan menghubungkan dan mengikat seorang muslim dengan Salafush Shalih (pendahulu mereka yang shalih).

6. Aqidah Islamiyyah menyatakan barisan-barisan kaum muslimin dan mengumpulkan kalimat mereka, karena aqidah islamiyyah melaksankan firman Allah : (QS. Ali ‘Imran : 103).

7. dalam aqidah islamiyyah terdapat keselamatan bagi orang yang berpegang padanya….

8. Bahwa berpegang teguh dengan aqidah islamiyyah adalah salah satu sebab yang terbesar untuk kokoh dalam agama.

9. Dalam aqidah islamiyyah terdapat pengaruh yang besar pada perangai dan akhlaq orang yang berpegang teguh dengannya. Kemudian aqidah islamiyyah juga merupakan sebab yang terbesar untuk istiqomah pada agama Allah.

10. Aqidah Islamiyyah sebab yang terbesar dalam mendekatkan diri pada Allah, dan mendapatkan keriadhaan-Nya kemudian yang (dengan mendapatkan keriadhaan-Nya) akan menggiring kita kepada pembicaraan dengan pembahasan yang mempunyai hubungan dengan tulisan di atas.

Kekhususan Manhaj Salaf

1. Kekokohan Salafush Shalih di atas kebenaran dan tidak adanya sikap berbalik (murtad) dari mereka sebagaimana hal ini adalah adat kebiasaan Ahlul hawa (pengikut hawa nafsu). Hudzaifah berkata kepada Ibnu Mas’ud : “Sesungguhnya kesesatan yang benar-benar sesat adalah engkau mengetahui apa yang engkau ingkari, dan engkau mengingakri apa yang engkau ketahui, hati-hatilah engkau dari sikap yang berganti dalam agama, karena sesungguhnya agama Allah adalah satu”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Secara menyeluruh (dapat dikatakan) kekokohan dan kemantapan dalam ahli hadits dan sunnah. Berlipat ganda dan berlipat ganda (melebihi) ahli kalam dan falsafah”.

Yang demikian itu hasil bahwa apa yang mereka (ahli hadits) di atanya adalah kebenaran dan petunjuk.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “”.

2. Sepakatnya Salafush Shalih dalam masalah aqidah dan tidak adanya perselisihan di antara mereka (dalam masalah aqidah) walaupun zaman dan tempat mereka berbeda. Imam Al Asbahani menyifati hal ini dengan perkataannya : “”.(lihat edisi IV)

3. Keyakinan mereka (Salafush Shalih) bahwa jalan Salafush Shalih adalah lebih selamat, lebih mengetahui, lebih bijaksana, tidak sebagaimana hadits-hadits yang dida’wahkan ahli kalam, bahwa jalan jalan Salafush Shalih lebih selamat sedangkan jalan khalaf lebih mengetahui dan lebih bijaksana.

Syaikhul Islam berkata dalam bantahannya terhadap perkara yang dibuat-buat ini : “Sungguh mereka telah berdusta atas jalan Salafush Shalih, dan mereka sesat dalam membenarkan jalan khlaf, maka mereka mengumpulkan antara kebodohan dengan jalan Salafush Shalih dalam berdusta atas mereka dan antara kebodohan dan kesesatan dengan membenarkan jalan khlaf”.

4. Bahwa Salafush Shalih adalah amnusia yang paling tahu pada keadaan Nabi, perkataan. Dan perkataan beliau, oleh karena itu mereka adalah manusia yang saling cinta terhadap sunnah Nabi dan manusia yang paling bersemangat untuk mengikuti sunnah Nabi, dan manusia yang paling banyak loyalitasnya terhadap Ahlus Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berklata : “Jika Rasulullah adalah makhluq yang paling sempurna dengan yang paling mengetahui hakikat-hakikat, dan yang paling lurus perkataannya dan keadaannya, mana sudah pasti manusia yang lebih mengetahui terhadap Rasulullah adalah makhluq yang lebih mengetahui tentang itu semua dan adalah manusia yang paling banyak mencocoki Rasulullah dan menyontoh beliau adalah makhluq yang paling utama”.

Yang demikian itu akan jelas, bahwa para Shahabat adalah manusia yang paling berhak dan yang paling pantas untuk menjadi Tha’ifah Al Mansyurah (kelompok yang mendapat pertolongan) dan Firqatun Najiyah (kelompok yang mendapat keselamatan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Dengan ini akan jelas dalam manusia yang paling berhak untuk termasuk menjadi firqah Najiyah adalah ahli Hadits, yang mana tidak ada pada mereka manusia yang mereka ta’ashub (fanatik) padanya kecuali Rasulullah. Dan ahli hadits adalah manusia yang paling mengetahui terhadap perkataan dan keadaan Nabi, dan manusia yang paling mampu membedakan antara hadits yang shahih dan hadits yang tidak shahih”.

Dan Imam-Imam ahli hadits adalah orang-orang yang faqih (mengerti) tentang hadits dan ahli dalam mengetahui makar-makar hadits (mereka) membenarkan, mengamalkan dan cinta (terhadap hadits-hadits) dan bersikap loyal terhadap orang yang loyal kepada hadits, dan mereka memusuhi terhadap orang-orang yang memusuhi hadits-hadits.

5. Dan yang paling khusus dari keistimewaan Tha’ifah Al Mansyurah (kelompok yang selamat) adalah semangatnya mereka dalam menyebarkan aqidah shahihah dan agama yang lurus ini di mana Allah mengutus para Rasul-Nya memebawa agama Islam ini, dan keistimewaan yang lain adalah mengajar dan menunjuki manusia, serta menasihati mereka, disamping itu juga membanta atas orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang ahli bid’ah.

6. Para Salafush Shalih mempunyi sikap berada dibahawa di antara kelompok, Syaikhul Islam Ibnu Tiamiyyah : “Ahli sunnah dalam agama Islam seperti keadaan ahli Islam di antara agama-agama lain”. Kemudian beliau menjelaskan mereka “berada tengah” di tempat lainnya, beliau berkata :

· Mereka berada di tengah-tengah dalam masalah sifat-sifat Allah, yaitu antara Ta’til (mereka yang menolak adanya sifat Allah) dan ahli Tamsil (mereka yang menyerupakan sifat-sifat Allah).

· Dalam masalah ancaman dariallah berada di tengah antara kelompok Murji’ah dan kelokpok Qadariyyah dab selainnya dan selain mereka.

· Dalam masalah yang membahas iman dan agama berada di tengah antara kelompok Khawarij serta Murji’ah dan Jahmiyyah.

· Dalam masalah Shahabat-Shahabat Nabi berada di tengah antara kelompok Syi’ah Rafidhah dan kelompok Khawarij.

7. Keistimewaan dari manhaj Salaf (yang lain) adalah sikap para Salafush Shalih yang berpegang teguh pada nama-nama dan istilah-istilah yang berdasarkan syari’at.

8. Keistimewaan yang lain, para Salafush Shalih sangat bersemangat untuk berjama’ah dan bersatu dan mereka menda’wahkan untuk itu dan menganjurkan manusia padanya, serta memperingatkan manusia darinya, dan ini bisa dilihat dari nama mereka yang masyhur adalah “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” dan hal ini sebagaimana terdapat dalam pokok-pokok ilmu (ajaran mereka), dan hal ini ada dalam kehidupan mereka terbukti nyata, terjadi dan diamalkan.

Selesai dengan memuji Allah dan memohon pertolongan kepada Allah, dan shalawat serta salam (kita sampaikan) kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Dialihbahasakan dari Durus al-Manhaj as-Salafi oleh al-Allamah Syaikh Abdullah al-Ubailan. Dipublikasikan di Majalah adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah

AQIDAH SALAFIYAH AL-MUYASSAR

Oleh : Abu Salma al-Atsari

TAUHID RUBUBIYAH

1. Makna : Meng’ahad’kan Allah Ta’ala di dalam perbuatan-Nya

2. Maksudnya kita meyakini bahwa Allah Ta’ala itu yang :

1. Menciptakan segala sesuatu (Az-Zumar 39 : 62)

2. Memberikan Rezeki (Hud 11 : 2)

3. Penguasa Alam semesta dan yang mengaturnya (Ali Imran 3 : 26-27)

4. Yang Menghidupkan dan yang mematikan (Ali Imran 3 : 26-27)

5. Pengatur rotasi siang dan malam (Ali Imran 3 : 26-27)

6. Memuliakan dan yang menghinakan (Ali Imran 3 : 26-27)

Lihat pula QS. Al A’raaf 7 : 54, Al Baqarah 2 : 21-22.

1. Tauhid Rububiyah tidaklah dapat memasukkan orang yang meyakininya ke dalam Islam, karena orang-orang kafir Yahudi dan nashrani serta Musyrikin Qurays dahulu meyakini akan kerububiyahan Allah. (Baca : Al Mu’minun 23 : 86-89, Az-Zukhruf 43 : 89, Az-Zukhruf 43 : 9, Yunus 10 : 31) namun mereka tetap dinyatakan kafir.

2. Bahkan Fir’aun –alahi la’natullah- mengakui akan kerububiyahan Allah ta’ala sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala QS Al Isra’ 17 : 102 yang artinya : “(Musa menjawab): ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat ini kecuali dari Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa’.” (Al Isra’ 17 : 102).

3. Tauhid Rububiyah merupakan fitrah manusia dan segenap makhluk sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Dan ingatlah takala Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‘Bukankah aku ini Rabbmu ?’ mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. ‘(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).” (Al-A’raf 7 : 172).

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (Muttafaq ‘alaihi)

Namun Fitrah manusia yang sudah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada mereka dipalingkan oleh Syaithan sebagaimaa dalam hadits Qudsi : “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” (HR. Ahmad dan Muslim)

1. Bantahan terhadap para penyelisih Rububiyah Allah :

1. Kaum yang meyakini bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta lebih dari satu (Polytheisme)

Bantahan Naqliyah: Allah Ta’ala berfirman : “Kalau ada Tuhan beserta-Nya masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagaian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-Mu’minun 23 : 91)

Bantahan Aqliyah : Keteraturan alam semesta beserta kerapiannya pastilah menafikan adanya pencipta-pencipta yang lain beserta Allah, jikalau ada sekutu-sekutu lain beserta Allah di dalam Rububiyah akan berimplikasi terhadap keteraturan dan kerapian alam semesta ini, karena pastilah tiap-tiap Rabb (pemelihara) memiliki kehendak dan kekuasaan yang mana dimungkinkan kehendak dan kekuasaan tiap-tiap Rabb itu saling berbenturan yang menyebabkan ketidakseimbangan alam semesta ini.

2. Paganisme/Berhalaisme

Sungguh para penyembah berhala, patung-patung, dan benda-benda lainnya selain Allah benar-benar menanggalkan akal mereka. Mereka menyembah :

– Sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan dan kemanfaatan (Yunus 10 : 18)

– Sesuatu yang tidak dapat menciptakan lalat walaupun berhala-berhala itu bersatu untuk menciptakannya (Al-Hajj 22 : 73)

– Sesuatu yang tidak mampu mencipta apapun (Luqman 31 : 11 dan Al-Ahqaf 46 :4)

– Sesuatu yang tidak dapat mencipta bahkan ia diciptakan (An-Nahl 16 : 20)

3. Meyakini bahwa sang Pencipta memiliki anak

Bantahan : Allah Ta’ala berfirman : “Allah sekali-kali tak mempunyai anak (Al Mu’minun 23 : 91) dan dalam firmannya : “Bagaiamana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri” (Al-An’am 6 : 101). Sungguh telah kafir dan bodoh sekali orang-orang yang menyatakan bahwa sang pencipta alam semesta ini memiliki anak.

4. Kaum penyembah Planet, Bumi dan Matahari.

Bantahan : QS. Al-An’am 6 : 76 –83 (Kisah Pengingkaran Ibrahim terhadap sesembahan terhadap matahari dan Bulan)

5. Atheisme (Meyakini tak ada pencipta)

Bantahan Naqliyah : “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak yakin (akan yang mereka katakan).” (Ath-Thur 52 : 35-36)

Bantahan Aqliyah : Seorang manusia dengan akalnya pastilah ia akan melihat bahwa keteraturan alam semesta ini pastilah ada yang mengaturnya. Sungguh naïf jikalau ada manusia berkeyakinan bahwa segala keteraturan ini ada dengan sendirinya. Atheisme ini benar-benar amatlah membahayakan karena selain manusia harus menyalahi fitrahnya ia juga harus menanggalkan akalnya dan menyelisihi kodrat kemanusiaannya. Orang-orang pengadopsi dialektik materialisme yang tidak mengimani hal ghoib kecuali apa-apa yang dapat diindera sungguh benar-benar kaum yang sesat dan menyesatkan, mereka lebih hina dan bodoh daripada hewan. Mereka tidak mengimani adanya sang pencipta di alam semesta ini dikarenakan tak bisa diindera dzat-Nya, maka lantas bagaimana mereka bisa meyakini akan keberadaan listrik sedangkan mereka tidak bisa mengindera dzatnya, mendeskripsikan fisiknya dan menggambarkan bentuknya.

Bahkan untuk menjelaskan bagaimana alam semesta ini terbentuk, mereka benar-benar mengajukan suatu pendapat/teori yang merendahkan mereka. Mereka menyatakan alam semesta ini terjadi dengan sendirinya, sungguh suatu pendapat yang tidak berdasar pada akal sehat. Bagaimana mungkin keteraturan yang amat luar biasa ini dikatakan terjadi dengan sendirinya, Jika mau kita telaah lebih panjang kebobrokan faham atheisme ini niscaya akan nampaklah kebodohan-kebodohan dan kehinaan mereka yang mana mereka membuang akal mereka sehingga mereka lebih hina daripada hewan. (ibnu burhan)

TAUHID ULUHIYAH

1. Makna : Meng’ahad’kan Allah di dalam perbuatan Makhluk.

2. Maksudnya : meng’ahad’kan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqorrub yang disyariatkan seperti do’a, nadzar, kurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, roghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (taubat). Jadi segala ibadah yang dilakukan makhluk hanyalah ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tauhid Uluhiyah juga disebut dengan Tauhidul Ibadah.

3. Tauhid Rububiyah mengharuskan Tauhid Uluhiyah , sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang menciptakanmu dan menciptakan orang-orang sebelummu agar kamu menjadi orang yang bertakwa. Dialah Allah yang menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap dan menurunkan dari langit air (hujan) yang dengannya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sebagai anugerah rizki bagimu, maka janganlah engkau membuat bagi Allah sekutu-sekutu sedangkan engkau mengetahuinya.” (Al Baqarah 2 : 20-21). Dari ayat di atas tampak bahwa Allah ta’ala menyatakan kerububiyahannya dengan menjadikan bagi manusia bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap dan menurunkan air hujan yang dengan air hujan itu tumbuh bermacam-macam tumbuhan sebagai rizki bagi manusia, dimana setelah manusia mengetahui bahwa hal ini semua adalah dari Allah Ta’ala maka merupakan suatu kewajiban bagi manusia untuk menyembah Allah Ta’ala semata dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah, dan ini merupakan konsekwensi Tauhid Rububiyah yang mengharuskan adanya Tauhid Uluhiah. (Baca juga QS Al An’am 6 : 102; Al A’raf 7 : 191; An Nahl 16 : 17).

4. Tauhid Uluhiyah merupakan tujuan manusia diciptakan sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku (semata)” (QS Adz-Dzariyat 51 : 65)

5. Tauhid Uluhiyah merupakan puncak tertinggi dalam islam dimana para nabi dan rasul diutus untuknya (Baca An Nahl 16 : 36, Al Anbiya’ 21 : 25), Bahkan Nabi Nuh, Hud, Sholih, Syuaib dan nabi lainnya mengajak ummatnya dengan berseru : “Hai kaumku sembahlah Allah semata, sekali-kali tiada ilah bagimu selain-Nya.” (Al A’raf 7 : 59, 65, 73 dan 85). Tauhid Uluhiyah adalah Da’wah Nabi Yusuf (QS Yusuf 12 : 36-42), Da’wah Nabi Musa (Thaha 20 : 4-15; An Naaziat 79 : 21-25), dakwahnya Kholilullah Ibrahim (An Nahl 16 : 123; Al An’am 6 : 74-83; Maryam 19 : 41-50; Al Baqoroh 2 : 258; Al Anbiya’ 21 : 51-70) dan dakwahnya nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam (Shad 38 : 5-6; Az Zumar 39 : 2-3, 11-14; Al An’am 6 : 162-163, Al A’raf 7 : 158)

6. Tauhid Uluhiyah merupakan intisari dari kalimat At-tauhid Laa Ilaaha Illallah yang merupakan gerbang masuk islam, jalan keselamatan dan terpeliharanya harta, jiwa dan kehomatannya. (banyak hadits yang menjelaskannya diantaranya Dalam Arbain Nawawi hadits ke-2 tentang Iman, islam dan Ihsan, hadits ke-3 tentang rukun islam yang lima, hadits ke-8 tentang terpeliharanya kehormatan seorang muslim).

7. Tauhid Uluhiyah yang membedakan antara orang kafir dan musyrikin dengan orang islam yang muwahidin (mentauhidkan Allah).

8. Tauhid Uluhiyah merupakan pondasi islam yang harus ditegakkan pertama kali sebelum lainnya karena ia merupakan hak Allah yang harus dipenuhi makhluk-Nya dan merupakan ini dakwah para nabi dan rasul. Tauhid uluhiyah juga merupakan dasar dalam tarbiyah yang harus diprioritaskan sebelum lainnya.

9. Tauhid Uluhiyah merupakan asas dan pondasi dibangunnya seluruh amal, tanpa realisasiTauhid Uluhiyah semua ibadah dan amal makhluk tidak akan diterima bahkan ia menjadi orang kafir yang kekal di dalam neraka. (An nisa’ 4 : 48,116; Al An’am 6 : 85, Az Zumar 39 : 65)(ibnu burhan)

MAKNA SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH

1. Makna Laa Ilaaha Illallah ijmaalan (global) : Laa Ma’budan Bihaqqin Illallah

Artinya “Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah”. Kata Laa harus ditaqdirkan dengan bihaqqin (yang haq), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujudin (yang ada) karena menyelisihi makna sebenarnya. Jika ditaqdirkan dengan maujudin maka menjadi Laa Ma’budan maujudin illallah (Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah) yang mengimplikasikan bahwa tidak ada sesembahan yang ada di bumi ini melainkan Ia-lah Allah, sehingga batu yang disembah, patung yang disembah, berhala yang disembah dan segala hal yang disembah maka Ia-lah Allah. Namun jika ditaqdirkan dengan bihaqqin maka implikasinya tidak ada sesembahan yang benar/haq untuk disembah kecuali Allah, maka segala sesembahan yang tidak haq yang disembah adalah bathil dan satu-satunya sesembahan yang haq disembah adalah Allah Ta’ala semata.

1. Tafsir bathil Makna Laa Ilaaha Illallah

1. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa ma’budan Ilallah (Tiada sesembahan kecuali Allah). Tafsir ini adalah bathil, karena jika tiada sesembahan yang disembah kecuali Allah, maka implikasinya setiap sesembahan baik yang haq maupun bathil maka Ia-lah Allah.

2. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa Kholiqon Illallah (Tiada pencipta kecuali Allah). Tafsir ini bathil dan kurang. Jikalau Laa Ilaaha Illallah ditafsirkan dengan tiada yang menciptakan kecuali Allah, penafsiran ini hanyalah mencakup sifat rububiyah Allah saja, sedangkan orang-orang musyrikin juga mengakui kerububiyahan Allah, sehingga jika ditafsirkan dengan makna ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kaum musyrikin adalah muslim.

3. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa Haakimiah Illallah (Tiada hakim kecuali Allah). Tafsir ini bathil dan kurang karena hanya mencakup satu sifat dari sifat-sifat Allah.

1. Makna Laa Ilaaha Illallah tafshilan (terperinci) menurut I’rabnya :

Laa disebut dengan Laa naafiyatan Lil Jinsi artinya ia adalah huruf yang berfungsi meniadakan seluruh jenis.

Ilah adalah Ism, ia mabni fathah (senantiasa dalam keadaan fathah), sedangkan khobar (berita)-nya mahdzuf (dibuang) dan ditaqdirkan (dikira-kirakan) dengan lafadz Haqqun sehingga bermaksud Laa Ilaaha haqqun. Ilah bermakna segala sesuatu yang disembah, diminta pertolongan, dijadikan tumpuan hati untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot.

Illa merupakan istitsna’ (pengecualian) dari khobar di belakangnya.

Allah merupakan khobar yang rofa’ setelah istitsna’. Allah adalah ‘ismalamiyah (nama) bagi diri-Nya. Yang berderivat (musytaq) dari kata Ilah dimana fa’ul ‘ism-nya dibuang dan ditambahkan lam az-za’idah sehingga menjadi lafadh Allah. (baca Fathul Majid pada syarh basmalah)

1. Rukun Syahadat Laa Ilaaha Illallah

Laa Ilaaha Illallah mempunyai dua rukun :

1. An-Nafyu atau peniadaan pada kalimat Laa Ilaaha : Membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.

2. Al-Itsbat atau penetapan pada kalimat Illallah : Menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.

Kedua rukun di atas itu sebagaimana dalam firman Allah : “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh ia telah berpegang pada tali Allah yang amat kuat” (Al Baqarah 2 : 256). Firman Allah Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut merupakan makna nafyun dari Laa Ilaaha, rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah beriman kepada Allah adalah makna itsbat dari rukun kedua Illallah.

Juga dalam firman Allah Ta’ala : “(berkata Ibrahim) Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku” (Az Zukhruf 43 : 26-27)

Firman Allah Ta’ala Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, merupakan makna nafyun pada rukun pertama dan Fiman Allah tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku merupakan makna itsbat pada rukun kedua.

1. Syarat Laa Ilaaha Illallah

Al-‘ilmu artinya mengetahui maknanya. Oleh sebab itu, orang yang mengucapkannya tanpa memahami makna dan konsekuensianya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara namun tak faham apa yang dibicarakannya (Lihat QS Muhamad 47 : 19 dan Az Zukhruf 43 : 86). Lawannya adalah Al-jahlu (bodoh)

Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat itu tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun (Lihat QS Al Hujurat 49 : 15). Lawannya adalah Asy-Syak (Ragu).

Al Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah (Lihat QS Ash Shoffat 37 : 35-36). Lawannya adalah Ar-Radd (menolak)

Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlash dan mencari Ridha Allah (Lihat QS Luqman 31 : 22). Lawannya adalah At-Tark (Meninggalkan).

Al-Ikhlash artinya Ikhlash tanpa disertai kesyirikan sedikitpun (Lihat QS An Nisa’ 4 : 23). Lawannya adalah Asy-Syirk.

Ash-Shidq artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak yang mengucapkan kalimat ini namun tidak meyakininya (Lihat QS Al baqarah 2 : 8-10). Lawannya adalah Al-Kadzib (mendustakan).

Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya. (Lihat QS Al Baqarah 2 : 165). Lawannya adalah Al-Baghdha’ (Benci)

1. Kedudukan kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam kehidupan sehari-hari.

Laa Ilaaha Illallah merupakan kalimat yang senantiasa dikumandangkan kaum muslimin, penegak bumi dan langit, sebab para nabi dan Rasul di utus, sebab kitab-kitab diturunkan, merupakan pondasi syariat, timbangan ditegakkannya keadilan, pemisah antara mukmin dan kafir, tujuan dihunusnya pedang tatkala jihad, merupakan hak Allah atas hambanya, gerbang masuk islam, kunci surga, terpelihara kehormatan, darah dan harta pengucapnya, prioritas utama da’wah yang harus didahulukan.

1. Keutamaan kalimat Laa Ilaaha Illallah (Disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab).

– Barangsiapa yang mengucapkan di akhir hayatnya dijamin masuk surga.

– Penyelamat kekalnya saeseorang di dalam neraka.

– Sebab diampuninya dosa.

– Kebajikan yang terbaik.

– Menghapus dosa dan kesalahan.

– Memparbaharui iman dalam hati.

– Merupakan do’a dan dzikir terbaik.

– Amalan yang paling utama

– Pengaman kesengsaraa kubur.

– Pemelihara dari gangguan Syaithan.

– Diharamkan atasnya neraka.

– Kunci dibukanya delapan pintu surga.

– Dan masih banyak lagi. (Baca Kitabul Ikhlash, Ibnu Rajab, hal. 54-66 (ibnu burhan)

1. Pembatal-pembatal Syahadat Laa Ilaaha Illallah

1. Syirik di dalam beribadah kepada Allah (Dalil : QS. An-Nisa’ 4 : 48, Al-Ma’idah 5 : 72)

2. Orang yang menjadikan antara dirinya dan Allah perantara-perantara (wasilah) untuk di jadikan sarana taqarrub kepada Allah dalam berdo’a, meminta syafa’at, pertolongan dan lain sebagainya.

3. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang yang kafir dan musyrik (seperti kafirnya ahlul kitab, kaum musyrikin Hindhu, Budha, atau selainnya) ataupun masih ragu akan kekufuran mereka bahkan membenarkan madzhab/pendapat-pendapat mereka.

4. Orang yang beri’tiqod (berkeyakinan di dalam hatinya) bahwa petunjuk selain Nabi lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk Nabi. Seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut di atas hukum Rasulullah, seperti undang-undang manusia.

5. Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia mengamalkannya.

6. Siapa yang mengejek, menghina atau meremehkan sesuatu dari agama Rasulullah baik pahala maupun siksanya. (QS At-Taubah 9 : 65-66)

7. Mempelajari dan mengamalkan sihir, termasuk di dalamnya tenaga-tenaga dalam, ilmu santet dan semacamnya. (QS Al-Baqarah 2 : 102).

8. Mendukung dan membela kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi ummat islam. (QS Al-Maidah 5 : 51)

9. Barangsiapa yang meyakini bolehnya manusia keluar dari syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana keyakinan ghulat shufiyah (kaum sufi yang melampau batas) bahwa manusia dapat memiliki tingkatan-tingkatan dimana pada tingkatan tertentu ia boleh tidak melakukan ibadah kepada Allah (Dalam hal ini tingkatan haqiqat kemudian tingkatan ma’rifat.)

10. Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya (QS As-Sajdah 32 : 22)

Peringatan : Dalam permasalahan pembatal syahadat di atas pelaku telah melakukan perbuatan kufur ‘amali, namun kita tidak boleh langsung memvonis kafir pada pelaku sebelum tegak syarat-syaratnya. Dalam hal ini ada pembahasan khusus mengenai takfir (pengkafiran) maka berhati-hatilah…!!!

-Wallahu a’lam bish showab-

HUKUM MENGGOLONG-GOLONGKAN MANUSIA

Oleh
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Termasuk persoalan yang memprihatinkan sekarang ini adalah kami dapati sebagian orang berusaha mengkotak-kotakan kaum muslimin dan mereka merasa senang dengan perbuatan tersebut ?

Jawaban.
Seorang muslim tidak dibolehkan menyibukkan dirinya mengomentari orang lain serta memecah belah persatuan kaum muslimin. Memvonis atau menghakimi orang lain tanpa ilmu termasuk tindak pengrusakan yang dilarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“(Artinya) Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” [Al-Isra : 36]

Seorang muslim seyogyanya melakukan perbaikan dan menjaga persatuan kaum muslimin serta berusaha merapatkan barisan mereka di atas panji-panji kebenaran. Bukan justru memecah belah Ahlus Sunnah dan memilah-milah mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok. Yang dituntut darinya jika melihat kesalahan di tengah kaum muslimin adalah berusaha memperbaikinya. Jika dilihatnya ada celah untuk berpecah maka ia wajib berusaha menyatukannya. Inilah yang dituntut dari seorang muslim. Yaitu menyeru kepada persatuan dan menambal celah-celah perpecahan. Usaha itu merupakan bentuk nasihat yang sangat agung bagi penguasa dan segenap kaum muslimin.

Disadur dari Kitab : MURAJA’AT FI FIQHIL WAQI’ AS-SIYASI WAL FIKRI ‘ALA DHAUIL KITABI WAS SUNNAH [Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah]

SEPUTAR MASALAH TABDI’ DAN TAKFIR

Oleh al-’Allamah Syaikh Shalih Fauzan

Pertanyaan : Bagaimanakah batasan bid’ah dan kapan seseorang disebut sebagai mubtadi’?

Jawab : Bid’ah adalah seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : barangsiapa mengada-adakan pada urusan kami yang tidak ada padanya maka tertolak (HR Bukhari III/167 dari Aisyah). segala yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Sedangkan bid’ah itu adalah setiap sesuatu yang tidak ada dasarnya dari al-Kitab maupun as-Sunnah, baik dalam masalah ibadah atau fikiran dan sebagainya, baik dalam ucapan, amalan atau keyakinan dan lain-lain.

Pertanyaan : Bila memperingatkan kebid’ahan akan menimbulkan fitnah, maka apakah berarti diam berarti lebih utama? atau tetap memperingatkannya meskipun terjadi apa yang akan terjadi?

Jawab : Cukup cerdik (penanya ini penting). Bila diperkirakan lebih besar madharatnya daripada mashlahatnya, maka di sana melakukan kemudharatan yang lebih ringan dalam rangka menolak madharat yang lebih besar adalah lebih tepat. Akan tetapi tidak boleh diam dalam menjelaskan dan berdakwah kepada Allah dengan nasehat yang baik dan mengajari manusia sedikit demi sedikit. “Bertakwalah kepda Allah sekemampuanmu” (at-Taghabun : 16).

Maka jika menampakkan keingkaran akan terjadi mafsadah (fitnah) yang lebih besar, maka kita jelaskan dan kita terangkan kepada manusia itu hingga mau meninggalkan kebid’ahan dari pribadi-pribadi. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (an-Nahl : 125). Orang jahil harus dimulai dengan hikmah dan lunak. Bila kita lihat dirinya berpaling maka dinasehati dan ditakut-takuti dengan ancaman Allah. Bila kita lihat dia tidak menerima kebenaran dan malah membantah serta menolaknya dengan alasan-alasan, maka dipatahkan dan dibantah dengan alasan-alasan itu dengan cara yang lebih baik.

Walhasil bahwa kaidah secara syar’i memperbolehkan melakukan kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar. Karena mencegah timbulnya kemadharatan itu lebih didahulukan daripada menjalankan kemaslahatan. Akan tetapi ini bertahap. Maka kita bermuamalah dengan mereka orang-orang yang melakukan kebid’ahan itu. Kita bermasyarakat dengan mereka secara baik dan lunak, kita jelaskan kepada mereka bahwa ini salah dan tidak boleh dilakukan, sering-sering kita ingatkan, maka Allah akan memberikan hidayah kepada orang yang Dia kehendaki. Maka mereka akan bisa membekas dengan nasehat dan peringatan. Mereka akan tinggalkan kebid’ahan itu dari diri mereka sendiri. Kita berikan jaminan kepada mereka demi keberhasilan dakwah. Kita tempatkan hikmah pada tempatnya, nasehat pada tempatnya dan kita tempatkan ketegasan pada tempatnya. Demikianlah seharusnya yang ada pada da’iyah ilallah di setiap tempat dan kesempatan.

Pertanyaan : Kami menginginkan penjelasan dari Anda ya syaikh tentang prinsip-prinsip salaf dalam menyikapi ahli bid’ah, jazzakumullahu.

Jawab : Orang-orang salaf tidak membid’ahkan setiap orang dan tidak melemparkan kata bid’ah kepada setiap orang yang melemparkan kata bid’ah kepada setiap orang yang menyelisihi sunnah. Mereka mensifati bid’ah hanya pada orang yang melakukan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa dalil. Tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah dari kami, maka tertolak.” Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, inilah bid’ah.

Bila seseorang telah nyata melakukan bid’ah dalam agama dan tidak mau kembali, maka sesungguhnya manhaj salaf menghajrnya, menjauhkan diri darinya dan tidak bermajelis dengannya. Inilah manhaj mereka. Akan tetapi seperti yang aku sebutkan yaitu sesudah ada kejelasan bahwa dia mubtadi’., sesudah dinasehati dan tidak mau kembali dari kebid’ahannya. Maka, saat itulah dia dihajr supaya bahayanya tidak menimpa pada orang yang duduk atau berhubungan dengannya, karena manusia sudah diperingatkan dari ahli bid’ah dan bid’ah-bid’ahnya. Adapun berlebihan dalam menilai bid’ah pada setiap orang yang menyelisihi pendapat, kemudian dikatakan ‘orang ini mubtadi’!. Setiap orang menilai lainnya mubtadi’, padahal dia tidak mengada-ada dalam agama sedikipun, kecuali sekedar menyelisihi pendapat seseorang atau menyelisihi jama’ah yang lain, maka bukanlah orang ini mubtadi’. Orang yang melakukan perkara yang haram atau maksiat disebut ahli maksiat dan tidak setiap ahli maksiat disebut dengan mubtadi’. Tidak setiap orang yang salah mubtadi’ karena mubtadi’ itu orang yang mengada-adakan dalam agama yang tidak ada dalilnya. Inilah mubtadi’. Adapun berlebihan menjuluki bid’ah secara umum kepada setiap orang yang menyelisihi pendapat orang lain, maka ini tidak benar, dan bukan dari manhaj salaf. (Lihat kitab Hajrul Mubtadi’ oleh Syaikh Bahan bin Abdullah).

Dalam Sahab li fatawa Islamiyyah no 335

Syaikh Sholih Fauzan ditanya tentang dakwah khowarij dan mu’tazilah yang menyebarkan kekerasan dan takfir kepada kaum Muslimin, syaikh menasehatkan sebagai berikut :

Hal ini adalah Manhaj yang khothi’ (salah), karena Islam melarang dari kekerasan dalam dakwah. Allah Ta’ala berfirman : “Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau’idhah hasanah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl : 125). Dan Allah berfirman pula pada Musa dan Harun ‘alaihimas salam yang akan berhadapan dengan Fir’aun, “Dan katakanlah (wahai kamu berdua) kepadanya (Fir’aun)perkataan yang lembut semoga dia ingat dan takut” (Thoha : 44).

(Ingatlah) kekerasan hanya menemui kekerasan, dan tidaklah akan menghasilkan sesuatu melainkan lawan dari yang diinginkan, sehingga akan membekas pada kaum muslimin keburukannya. Yang diinginkan adalah da’wah dengan hikmah dan dengan cara yang baik, dengan menggunakan ar-Rifqu (kelemahlembutan) terhadap mad’u. Adapun menggunakan kekerasan terhadap mad’u dan tasyaddud serta bengis, maka cara ini bukanlah cara Islam!!! Wajib bagi setiap Muslim untuk menempuh da’wahnya dengan manhaj Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah…!!!

Disarikan dari Zhahiratu at-Tabdi’, at-Takfir wat Tafsiq dan Sahab lil Fatawa al-Islamiyyah

SYARAT-SYARAT DITERIMANYA AMAL IBADAH

Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :

1. IKHLAS ( اَلإِخْلاَصُ )

Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat ( أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2]

Kemudian Rasulullah r bersabda :

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah I tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]

Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima oleh Allah Ta’ala . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam :

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad]

Kemudian firman Allah Ta’ala tentang larangan syirik ialah,

فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]

Orang yang rajin beribadah kepada Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah I:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]

2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )

Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r dalam segala hal, dengan firman-Nya :

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]

Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :

“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah Ta’ala, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam”.

Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah Ta’ala semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya akan baik”.

Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :

1. SEBAB ( اَلسَّبَبُ )

Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.

2. JENIS ( اَلْجِنْسُ )

Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.

3. BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )

Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala . Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah Ta’ala karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

4. TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )

Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.

5. WAKTU ( اَلزَّمَانُ )

Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.

6. TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )

Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.

Sehingga dengan memperhatikan enam perkara tersebut, maka kita dapat mencocokkan / mengoreksi apakah amal ibadah yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam atau tidak?.

Demikian pembahasan singkat tentang syarat-syarat utama diterimanya amal ibadah. Semoga bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amiin…