Tag Archives: jihad

HUKUM MENGGELARI ORANG YANG GUGUR DI MEDAN JIHAD SEBAGAI ‘ASY-SYAHID’

Oleh : Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin ditanya,

“Apakah boleh menggunakan kata “Syahid” atas seseorang, dikatakan, “Asy-Syahid fulan”?”

Jawaban:

Kita tidak boleh memberi kesaksian bagi siapapun bahwa ia syahid, hingga walaupun orang tersebut terbunuh secara zhalim atau terbunuh karena membela diri. Kita tidak boleh mengatakan fulan syahid. Ini berbeda dengan orang-orang pada hari ini. Mereka mudah memberi kesaksian. Mereka menyebut setiap orang yang terbunuh hingga walaupun seseorang terbunuh karena fanatisme jahiliah, mereka menyebutnya syahid. Ini haram; karena perkataan kamu tentang seseorang yang terbunuh bahwa ia syahid merupakan kesaksian yang kelak akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat. Kamu akan ditanya apakah kamu memiliki bukti bahwa ia terbunuh dengan syahid?

Karena itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tidaklah seorang terluka di jalanAllah –Wallahu a’lam dengan orang yang terluka di jalan Allah- kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan wanginya wangi misk” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah, Al-Bukhari: 2803, Muslim: 1876.)

Perhatikan perkataan Nabi “Wallahu a’lam dengan orang terluka di jalan Allah”. Sesungguhnya sebagian orang terkadang secara lahir memang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, akan tetapi Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hatinya. Apa yang tersembunyi di hatinya kadang berbeda dengan apa yang nampak dari perbuatannya. Karena itu Imam Al-Bukhari membuat bab tentang masalah ini dalam kitab shahihnya, ia berkata, “Bab tidak boleh dikatakan fulan syahid” sebab pusat kesaksian ada dalam hati dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang ada dalam hati kecuali Allah ‘azza wa jalla.

Niat adalah perkara besar. Berapa banyak dua orang yang mengerjakan satu perbuatan yang sama namun antara keduanya seperti langit dan bumi disebabkan karena niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّياَتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَر إِلَيْهِ

“Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya, sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrah kepada dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan” (Muttafaq ‘alaih, dari hadits Umar, Al-Bukhari: 1, Muslim: 1907)

Pertanyaan Lain Sehubungan dengan Permasalahan Ini

Apa hukum ungkapan “fulan syahid”?

Jawaban:
Memberi kesaksian kepada seseorang bahwa ia mati syahid terjadi pada dua bentuk:

Pertama, diikat dengan sifat seperti ungkapan “Setiap orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang terbunuh mempertahankan hartanya adalah syahid[1], orang yang mati terkena wabah tha’un adalah syahid[2] dan yang serupa ini. Kesaksian dalam bentuk ini hukumnya boleh, seperti yang terdapat dalam nash-nash, karena dengan begitu kamu bersaksi dengan sesuatu yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang kami maksud dengan boleh adalah tidak terlarang, walaupun padahal bersaksi dengan hal itu sebetulnya wajib dalam rangka membenarkan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, diikat dengan seorang tertentu seperti kamu berkata bahwa seseorang tertentu mati syahid. Ini tidak boleh kecuali bagi orang yang telah diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau sesuai dengan kesepakatan ummat.

Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab, “Bab tidak dikatakan fulan syahid”. Berkata dalam Fathul Bari (6/90) “Maksudnya dengan kepastian, kecuali hal itu ditetapkan oleh wahyu” sepertinya beliau memberi isyarat kepada hadits Umar, suatu hari ia berkhutbah,

“Kalian mengatakan dalam peperangan kalian fulan syahid, dan meninggal fulan dengan syahid, mungkin saja ia telah menindas tunggangannya. Sekali-kali tidak, janganlah kalian mengatakan itu! Akan tetapi katakanlah seperti apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Barang siapa yang mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid’.”

(Hadits ini hasan dikeluarkan Imam Ahmad, Sa’id bin Manshur dan yang lainnya dari jalan Muhammad bin Sirin dari Abu Al-’Ujfa’ dari Umar).

Kesaksian terhadap sesuatu dilakukan atas dasar ilmu. Syarat seseorang mati dalam keadaan syahid adalah ia berperang dengan niat meninggikan kalimat Allah, dan ini adalah niat batin yang tidak bisa diketahui, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepada hal itu dengan sabdanya, perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih mengetahui dengan orang yang berjihad di jalan-Nya”. Juga bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يَكْلُمُ أَحَدٌ فِي سَبِيْل اللهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يَكْلُمُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْلَوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالِّريْحُ رِيْحُ الْمِسْكِ

“Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah, dan Allah mengetahui siapa orang yang terluka di jalan-Nya, kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah warnanya warna darah dan wanginya wangi misk” diriwayatkan Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah.

Kemudian orang-orang yang secara lahir memang memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia syahid namun kita tidak memberi kesaksian bagi orang tersebut dan kita juga tidak berburuk sangka.

Berharap adalah keistimewaan di antara dua keistimewaan, akan tetapi kita memperlakukan orang yang mati tersebut di dunia berdasarkan hukum para syuhada. Jika ia terbunuh ketika berjihad di jalan Allah, ia dikuburkan dengan darah yang berlumuran pada pakaiannya dan tanpa dishalatkan. Sedangkan para syuhada karena sebab yang lain selain jihad, maka ia harus dimandikan, dikafani dan dishalatkan.

Jika kita memberi kesaksian bagi pribadi tertentu bahwa ia syahid, maka dengan itu kita berarti telah memberinya kesaksian bahwa ia akan masuk surga; dan masalah ini menyelisihi apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah. Mereka tidak memberi kesaksian dengan surga kecuali orang yang diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik dengan sifat atau orang tertentu, dan sebagian Ahlus Sunnah berpendapat boleh memberi kesaksian orang yang disepakati mendapat pujian ummat. Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu ta’ala.

Dengan semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa kita tidak diperkenankan memberi kesaksian bagi seseorang pun bahwa ia mati syahid, kecuali berdasarkan nash dan kesepakatan. Akan tetapi orang yang secara lahir memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia mendapatkan syahid sebagaimana penjelasan yang lalu, ini sudah cukup sesuai bagi kedudukan yang dimilikinya sedangkan ilmu tentangnya ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

CATATAN KAKI:

[1] Shahih, dikeluarkan Abu Daud: 4772, At-Tirmidzi: 1421, An-Nasa’i: 7/115 dari Sa’id Bin Zaid, At-Tirmidzi berkata, hasan shahih. Hadits ini juga memiliki syahid riwayat Muslim: 140 dari Abu Hurairah.

[2] Muttafaq ‘alaih, Al-Bukhari: 5732, Muslim 1916 dari Anas, Al-Bukhari: 2829, Muslim: 1914 dari Abu Hurairah, juga dikeluarkan Al-Bukhari dari Aisyah: 5734, Muslim: 1915 dari Abu Hurairah. Lihat Fath al Bary: 10/194.

[3]Dikeluarkan Al-Bukhari: 2787 dari Abu Hurairah, di riwayat Muslim: 1878 ada hadits dengan tanpa lafadz “Wallahu a’lam dengan orang yang berjihad di jalan-Nya”

(Sumber: Al-Manahil Lafzhiyah)

KAIDAH-KAIDAH DALAM BERJIHAD

Oleh: Syaikh Prof. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad

Ini adalah pembahasan yang sangat penting dalam masalah jihad, yaitu memahami bahwa jihad yang disyariatkan dalam Islam adalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta atsar para Salafush Shalih. Tidak sempurna jihad dijalan Allah dan tidak akan termasuk amal shalih tanpa memperhatikan syarat-syarat tersebut.

Diantara kaidah-kaidah serta syarat-syarat jihad adalah sebagai berikut.

[1]. Jihad harus dilandasai oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima jihadnya seseorang hingga dia mengikhlaskan niatnya karena Allah dan mengharapkan keridhoanNya. Jika dia hanya mengharapkan dengan jihadnya tersebut keuntungan pribadi atau jabatan atau yang lainnya dari perkara-perkara dunia maka jihadnya ini tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, Allah tidak akan menerima jihad seseorang apabila dia tidak mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berjihad. Seseorang yang ingin berjihad haruslah terlebih dahulu memahami bagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad kemudian dia mencontohnya.

[2]. Jihad tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyariatkannya jihad yaitu untuk meninggikan kalimat Allah dan agar agama ini hanyalah milik Allah, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah ! ada seseorang yang berperang karena keberaniannya, ada lagi karena fanatik (golongan), ada juga karena riya, mana diantara mereka yang termasuk berjihad di jalan Allah ? maka beliau menjawab : “Barangsiapa yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah tinggi maka dia di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 7458 dan Muslim 1904]

[3]. Jihad haruslah diiringi dengan ilmu dan pemahaman agama yang baik, karena jihad termasuk semulia-mulianya ibadah dan ketaatan. Dan ibadah tidaklah sah tanpa ilmu dan pemahaman agama. Oleh karena itulah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disebutkan dalam atsar bahwa : “Ilmu adalah imam/pemimpin amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya”. Hal ini sebenarnya sudah jelas, karena jika tujuan dan perbuatan tidak diiringi dengan ilmu, maka hal tersebut hanyalah kebodohan dan kesesatan serta mengekor kepada hawa nafsu. Maka harus diketahui hakekat jihad yang sebenarnya, tujuan jihad, macam-macam jihad dan tingkatan-tingkatannya, serta harus dipahami keadaan musuh yang hendak diperangi. [2]

[4]. Jihad hendaknya dilakukan dengan penuh rahmat/kasih sayang dan lemah lembut karena jihad tidaklah disyariatkan untuk menyiksa jiwa atau menyakiti orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidaklah kelemah lembutan ada pada sesuatu, melainkan dia akan memperindahnya, dan tidaklah kekerasan ada pada sesuatu melainkan dia akan merusaknya” [Hadits Riwayat Muslim]

Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Syaitan selalu menginginkan dari manusia agar mereka berlebih-lebihan dalam semua perkara. Jika syaitah melihat orang tersebut condong kepada kasih sayang maka dia jadikan berlebih-lebihan dalam menyayangi, hingga tidak membenci apa yang dibenci Allah dan tidak cemburu. Tapi jika syaitan melihat orang itu condong kepada sikap kasar/keras, maka syaitan pun menjadikannya berlebih-lebihan hingga tidak berbuat ihsan/baik, lemah lembut dan kasih sayang sesuai dengan yang Allah perintahkan dan dia amat ekstrim dalam membenci dan mencela serta memberi sangsi…” [3]

[5]. Jihad haruslah dipenuhi dengan keadilan dan jauh dari kedzoliman. Ini adalah ketentuan yang penting dalam jihad di jalan Allah, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmannya.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Dan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, medorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al-Maidah : 8]

Dahulu, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukannya, selalu mewasiati mereka untuk bertakwa dan beliau berkata : “Berjalanlah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Janganlah mecincang (mayat) dan janganlah berbuat curang serta jangan membunuh anak kecil” [Hadits Riwayat Muslim 1731]

Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang tidak ikut berperang dari kaum wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, orang buta, orang-orang yang lemah/sakit, orang-orang gila, dan para pendeta/pastur serta biarawan/biarawati adalah golongan yang tidak layak dibunuh dalam medan jihad karena perang itu ditujukan kepada orang yang memerangi kita ketika kita menampakkan agama Allah. Siapapun dari golongan diatas yang tidak ikut serta memerangi kita maka kita pun tidak boleh memerangi mereka. Yang demikian itu karena Allah membolehkan untuk membunuh jiwa yang dengannya makhluk ini bisa baik, seperti yang Allah firmankan.

“Artinya : Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh” [Al-Baqarah : 217]

Maksudnya bahwa perang itu meskipun terdapat kejelekan dan kerusakan di dalamnya, tapi kerusakan dan fitnah kekafiran lebih dari itu semuanya. Barangsiapa yang tidak menghalangi kaum muslimin dari mendirikan agama Allah, maka bahaya kekafirannya hanya untuk dia sendiri. Oleh karena itulah para ulama berkata : “Para da’i yang menyeru kepad bid’ah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah layak diberi sangsi, berlainan dengan yang diam (tidak menyeru kepada bid’ah). Semuanya ini termasuk kebaikan Islam dan seruan Islam untuk berbuat adil dan menjauhi segala bentuk penganiayaan dan kedzoliman” [4]

[6]. Jihad (tholab/menyerang ,-pent) haruslah bersama imam kaum muslimin atau dengan seizinnya baik pemimpin/imam tersebut orang yang baik ataupun fasik. Ini diantara kententuan yang paling penting yang harus ada dalam jihad fi sabilillah, karena jihad –khususnya jihad melawan musuh-musuh Allah dengan senjata- tidak bisa dilakukan melainkan dengan kekuatan dan kekuatan tidak bisa diperoleh melainkan dengan persatuan. Dan persatuan tidak dapat terwujud melainkan dengan kepemimpinan. Dan kepemimpinan tidak berjalan melainkan dengan adanya sikap mendengar serta taat (kepada pemimpin). Semua perkara ini saling berkaitan dan tidak sempurna sebagiannya melainkan dengan sebagian yang lain, bahkan tidak akan tegak agama dan dunia ini melainkan dengannya[5].

Ketentuan ini telah dijelaskan dalam sunnah serta ucapan para salaf. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya imam/pemimpin itu adalah perisai yang (kaum muslimin) berperang dibelakangnya dan menjadikan sebagai tameng” [Hadits Riwayat Bukhari 2957 dan Muslim 1841]

Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi berkata dalam Aqidah Thohawiyahnya : “Haji dan jihad senantiasa dilaksanakan bersama ulim amri/pemimpin kaum muslimin yang baik maupun yang dzolim sampai hari kiamat…”.
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ; dibolehkan sholat dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik dan dibolehkan jihad bersama para kholifah, serta dia tidak memberontak terhadap penguasa dengan mengangkat senjata dan dia mendo’akan kebaikan untuknya, maka sungguh di telah keluar dari ucapan kelompok Khowarij dari awal sampai akhir” [6]

[7]. Jihad di jalan Allah disesuaikan dengan keadaan kaum muslimin, sudah kuatkah atau masih lemah ? karena keadaan bisa berubah setiap waktu dan tempat. Jihad di jalan Allah disyariatkan dalam Islam dengan melalui beberapa tahapan ; Pada waktu di Mekkah belum disyariatlan jihad dengan mengangkat senjata, karena kaum muslimin pada saat itu masih minoritas dan lemah, akan tetapi disyariatkan jihad dengan hati dan lisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar” [Al-Furqon : 52] ayat ini makkiyah (turun sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, -pent)

Firman Allah : “Wajahidhum”. Ibnu Abbas mengatakan : “Dengan Al-Qur’an” seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan mulai mendirikan negara Islam diizinkan beliau untuk berperang secara mutlak melalui firmanNya.

“Artinya : telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka” [Al-Haj : 39]

Kemudian diwajibkan jihad kepada kaum muslimin serta diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi mereka dan menahan diri dari orang-orang yang tidak mengganggu mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Setelah itu Allah menurunkan ayat yang memerintahkan untuk berjihad secara mutlak serta tidak menahan diri dari siapapun sampai mereka masuk kedalam agama Allah atau membayar jizyah, seperti yang termaktub dalam firmanNya.

“Artinya : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” [Al-Anfal : 39]

Para pakar ulama menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak ada yang mansukh/dihapus (hukumnya,-pent) akan tetapi ayat-ayat tersebut berlaku sesuai dengan kondisi yang ada, maka hendaknya kaum muslimin disetiap waktu dan tempat untuk mengambil ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka dalam keadaan lemah maka jihadnya sesuai dengan kemampuan mereka. Jika mereka lemah maka cukup dengan berdakwah secara lisan. Dan jika mereka telah memiliki sebagian kekuatan maka mereka (dibolehkan) memerangi orang-orang yang memerangi mereka atau yang dekat dengan mereka serta menahan diri dari yang tidak menganggu mereka. Dan apabila mereka telah amat kuat dan memiliki kekuasaan maka (dibolehkan) untuk memerangi semuanya sehingga manusia semuanya masuk Islam atau membayar jizyah. [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Barangsiapa diantara kaum muslimin dalam keadaan lemah di suatu tempat atau waktu, maka hendaknya dia mengamalkan ayat kesabaran dan memaafkan orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya dari kalangan ahli kitab maupun orang-orang musyrikin”.[8]

Syaikh Abdurrohman As-Sa’di rahimahullah berkata : “Hendaknya mereka mengetahui bahwa Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai kemampuan mereka dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tuladan mereka. Dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui dua keadaan dalam berdakwah dan berjihad. Beliau diperintah sesuai dengan keadaannya. Disaat kaum muslimin dalam keadaan lemah dan dikuasai musuh beliau diperintah untuk membela diri saja dan mencukupkan diri dengan berdakwah serta menahan diri dari jihad mengangkat senjata, karena hal tersebut lebih banyak madhorotnya. Dan disaat yang lain mereka diperintahkan untuk menolak kejahatan para musuh dengan segala kekuatan yang ada dan berdamai selama terdapat maslahat dalam perdamaian tersebut, serta memerangi orang orang-orang yang melampui batas jika maslahatnya lebih besar. Wajib bagi kaum muslimin untuk meneladani Nabi mereka dalam hal ini. Dan meneladani beliau adalah kemaslahatan dan kesuksesan” [9]

[8]. Jihad haruslah dapat mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengakibatkan kemadhorotan yang lebih besar. Yang demikian itu karena Jihad dengan segala bentuknya disyariatkan untuk mewujudkan maslahat dan menolak madhorot dari Islam dan kaum muslimin baik perorangan maupun kelompok. Senantiasa jihad disyariatkan apabila diketahui dengan seyakin-yakinnya atau diperkirakan dengan seksama dapat mewujudkan tujuan tersebut. Tapi sebaliknya, jika diketahui dengan yakin atau diperkirakan dengan seksama hal tersebut lebih banyak mendatangkan madhorot, maka jihad pada saat itu tidak disyariatkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Seutama-utamanya jihad dan amal shalih adalah yang lebih mentaati Allah dan lebih bermanfaat bagi hamba Allah. Apabila jihad dapat memadhorotkannya serta menghalangi dari yang lebih bermanfaat maka tidak bisa dikatagorikan sebagai amal shalih” [10]

[9]. Kesimpulan : Pondasi dari kaidah-kaidah diatas adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai tolak ukur dalam segala keadaan dan hal tersebut mencakup empat perkara : Aqidah yang benar, Niat yang ikhlas, Kejujuran dalam bertawakkal, dan Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang mujahid yang tidak berpegang dengan aqidah yang benar maka ucapan dan perbuatannya tidak terlepas dari kerusakan dan penyimpangan, karena benarnya aqidah seseorang adalah pondasi bagi keselamatan ucapan dan perbuatan. Dan seorang mujahid yang tidak berpegang dengan niat ikhlas dalam ucapan dan perbuatannya maka jihadnya bukan karena wajah Allah atau untuk menegakkan kalimatNya bahkan hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Dan mujahid yang tidak jujur dalam bertawakkal kepada Allah maka dia tidak akan bisa istiqomah dalam berjihad di jalan Allah dan dalam memikul beban jihad, bahkan tekadnya bisa cepat lemah dan mudah pesimis dari pertolongan Allah. Dan seorang mujahid yang tidak mengikuti jejak Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jihadnya tidak akan benar dan tidak jauh dari bid’ah dan penyimpangan. Bahkan jihadnya lebih condoh kepada pengrusakan terhadap dirinya dan selainnya dari pada perbaikan dan seruan kepada jalan Allah yang lurus.

[Diringkas dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 18 Th IV Muharram 1427H/Peb-Maret 2006M. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya, dinukil dari: http://www.almanhaj.or.id]
_________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini kami ringkaskan dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib.
[2]. Lihat Majmu fatawa oleh Syaikhul Islam rahimahullah 28/135-136
[3]. Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/35
[4]. Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/161 dan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad 3/100, 105
[5]. Majmu Fatawa 28/390
[6]. Syarhus Sunnah hal. 57
[7]. Majmu Fatawa oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah 18/131,133,136-137
[8]. Ash-Shoorimul Maslul 2/413
[9]. Wujuubur Ta’awun Bainal Muslimin 5/190
[10]. Majmu Fatawa 22/300

DEFENISI DAN HUKUM JIHAD FISABILILLAH

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Jihad adalah salah satu syi’ar Islam yang terpenting dan me-rupakan puncak keagungannya. Kedudukan jihad dalam agama sangat penting dan senantiasa tetap terjaga. Jihad fii sabiilillaah tetap ada sampai hari Kiamat.

Secara bahasa (etimologi) kata jihad diambil dari kalimat:(…..)
Yang berarti kekuatan usaha, susah payah dan kemampuan. [1]

Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) rahimahullahu: ÇáúÌóåúÏõ berarti kesulitan dan ÇáúÌõåúÏõ berarti kemampuan. [2]

Menurut istilah syar’i (terminologi):
“Al-Jihad artinya memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan baik berupa perkataan atau perbuatan.” [3]

“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

Jihad ada tiga macam:
1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan syaithan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.

Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an surat al-Hajj: 78, at-Taubah: 41, al-Anfaal: 72. [4]

Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani (yang terkenal dengan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, wafat th. 852 H) rahimahullahu: “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.” [5]

Istilah Jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan orang-orang fasiq. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan dengan menolak segala bentuk syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh syaithan. Jihad melawan orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan dan hati. [6]

Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” [7]

Jihad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu adalah: “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.” [8] Kata beliau: “Bahwasanya jihad pada hakikatnya adalah mencapai (meraih) apa yang dicintai oleh Allah berupa iman dan amal shalih, dan menolak apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiyat.” [9]

Definisi ini mencakup setiap macam jihad yang dilaksanakan oleh seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kesungguhan mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, muslim atau orang kafir dan bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan selain itu. [10]

Jihad tidak dikatakan jihad yang sebenarnya melainkan apabila jihad itu ditujukan untuk mencari wajah Allah, menegakkan kalimat-Nya, mengibarkan panji kebenaran, menyingkirkan kebathilan dan menyerahkan segenap jiwa raga untuk mencari keridhaan Allah. Akan tetapi bila seseorang berjihad untuk mencari dunia, maka tidak dikatakan jihad yang sebenarnya.

Barangsiapa yang berperang untuk mendapatkan kedudukan, memperoleh harta rampasan, menunjukkan keberanian, mencari ketenaran (kehebatan), maka ia tidak akan mendapatkan ganjaran dan tidak akan mendapat pahala. [11]

Jihad dalam Islam merupakan seutama-utama amal. Allah memerintahkan jihad yang termaktub di dalam Al-Qur-an, yaitu pada surat al-Baqarah: 190, 193, 216, Ali ‘Imran: 142, an-Nisaa’: 95, at-Taubah: 73, al-Anfaal: 74, al-Hajj: 78, al-Furqaan: 52 dan ash-Shaaf: 11.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Amal apa yang paling utama?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad fii sabiilil-laah.’” [12]

Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Amal apa saja yang paling utama?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Beriman kepada Allah dan berjihad fii sabiilillaah…” [13]

‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad fii sabilillaah.” [14]

Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang karena mengharap ghani-mah (harta rampasan perang), ada yang lain berperang supaya disebut namanya, dan yang lain berperang supaya dapat dilihat kedudukannya, siapakah yang dimaksud berperang di jalan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang berperang supaya kalimat Allah tinggi, maka ia fii sabiilillaah (di jalan Allah).” [15]

HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah al-Qaahir:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci se-suatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]

Ayat ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Azza wa Jalla bagi kaum Muslimin, agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari wilayah Islam.

Muhammad bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H) rahimahullahu berkata: ‘Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuh-kan, maka hendaklah ia tetap di tempat (tidak ikut).’” [16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah):

“Tidak ada hijrah setelah Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah), akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Bila kalian diminta untuk maju perang, maka majulah!” [17]

Hukum jihad adalah fardhu kifayah [18] dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah antara lain dari Al-Qur’an surat an-Nisaa’: 95-96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Empat Imam Madzhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fii sabiilillaah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakan-nya maka berdosa semuanya. [19]

Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:

Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan kafirin (orang-orang kafir) bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik.

Kedua: Apabila musuh menyerang negeri Muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.

Ketiga: Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalilnya adalah surat at-Taubah: 38-39. [20]

Jihad diwajibkan atas:
1. Setiap Muslim.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Mempunyai kemampuan untuk berperang.
7. Mempunyai harta yang mencukupi baginya dan keluarganya selama kepergiannya dalam berjihad. [21]

Bagi kaum wanita tidak ada jihad, jihad mereka adalah haji dan ‘umrah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya, kaum wanita wajib berjihad (meskipun) tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah.’” [22]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Pasal “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri”. Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).
[2]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208).
[3]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319) Ibnul Atsir.
[4]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208) oleh al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) t.
[5]. Fat-hul Baari (VI/3) oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[6]. Ibid.
[7]. HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7) dan al-Hakim (II/81) dari Sahabat Anas bin Malikz, dengan sanad yang shahih.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/192-193).
[9]. Ibid, (X/191).
[10]. Lihat al-Jihaad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/50) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadiry, cet. II/Darul Manarah-Jeddah, th. 1413 H.
[11]. Fiq-hus Sunnah oleh Sayyid Sabiq (III/40) dan al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 481) oleh ‘Abdul ‘Azhim Badawi.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 527) dan Muslim (no. 85 (137)) dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu
[13]. HR. Muslim (no. 84 (136)).
[14]. HR. Ahmad (II/32) sanadnya shahih. Lihat Musnad Ahmad (no. 4873) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (III/477).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 2810, 3126), Muslim (no. 1904) dan Ahmad (IV/392, 397, 402, 405, 417) dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘ahu
[16]. Tafsir Ibnu Katsir (I/270).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 2783, 2825, 3077), Muslim (no. 1353), Abu Dawud (no. 2480), at-Tirmidzi (no. 1590), an-Nasa’i (VII/146) dan Ahmad (I/266) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dan juga oleh Muslim (no. 1864) dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
[18]. Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 44-73) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. II/Daar Ulama’ Salaf, th. 1414 H.
[19]. Lihat al-Jihad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/56) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadir.
[20]. Lihat Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 89-90) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, Taudhiihul Ahkaam Syarah Bulughul Maram (VI/331-332) syarah ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Bassam, cet. V/Maktabah al-Asadi, th. 1423 H.
[21]. Lihat al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 487) oleh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. III/Daar Ibnu Rajab, th. 1421 H.
[22]. HR. Al-Bukhari (no. 1520), Ibnu Majah (no. 2901) dan Ahmad (VI/165), lafazh ini miliki Ibnu Majah.

Keutamaan Jihad, Tujuan Disyari’atkan Jihad, Tingkatan Jihad, Pembagian Jihad

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


KEUTAMAAN JIHAD:

Keutamaan jihad sangat banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Geraknya mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah) di medan perang itu diberikan pahala oleh Allah. [1]
2. Jihad adalah perdagangan yang untung dan tidak pernah rugi. [2]
3. Jihad lebih utama daripada meramaikan Masjidil Haram dan memberikan minum kepada jama’ah haji. [3]
4. Jihad merupakan satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). [4]
5. Jihad adalah jalan menuju Surga. [5]
6. Orang yang berjihad, meskipun dia sudah mati syahid namun ia tetap hidup dan diberikan rizki. [6]
7. Orang yang berjihad seperti orang yang berpuasa tidak berbuka dan melakukan shalat malam terus-menerus. [7]
8. Sesungguhnya Surga memiliki 100 tingkatan yang disediakan Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya. Antara satu tingkat dengan yang lainnya berjarak seperti langit dan bumi. [8]
9. Surga di bawah naungan pedang. [9]
10. Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (1) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (2) dapat melihat tempatnya di Surga, (3) akan dilindungi dari adzab kubur, (4) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, (5) diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, (6) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya. [10]
11. Orang yang pergi berjihad di jalan Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya. [11]
12. Orang yang mati syahid, ruhnya berada di qindil (lampu/ lentera) yang berada di Surga. [12]
13. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali hutang. [13]

TUJUAN DISYARIA’TAKAN JIHAD:

Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka.
Allah al-‘Aziiz berfirman:

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka ber-henti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim”[Al-Baqarah: 193]

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullahu berkata: “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain, sehingga ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah saja tidak kepada yang lain.” [14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah…” [15]

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi (wafat th. 671 H) rahimahullah berkata: “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab ‘qital’ (perang) adalah kekufuran.” [16]

Syaikh as-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan ‘fitnah’ (syirik). Apabila fitnah (kemusyrikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” [17]

Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka bumi. Karena itu sebelum dimulai peperangan diperintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam. [18]

TINGKATAN JIHAD:

Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahulahu jihad memiliki empat tingkatan, [19] yaitu:

Pertama: Jihaadun Nafs (Jihad melawan hawa nafsu).
Jihad ini ada empat tingkatan:

1. Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mempelajari agama yang haq. Seseorang tidak akan dapat mencapai kejayaan, kebahagiaan di dunia dan akhirat melainkan dengan ilmu dan petunjuk. Apabila dia tidak mau mempelajari ilmu yang bermanfaat, maka dia akan celaka dunia dan akhirat.

2. Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. Bila hanya semata-mata berdasarkan ilmu saja tanpa amal, maka bisa jadi ilmu itu akan mencelakainya bahkan tidak bermanfaat baginya.

3. Berjihad untuk mendakwahkannya, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, maka apabila dakwah ini tidak dilakukannya maka hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan baik berupa petunjuk maupun keterangan-keterangan. [20] Maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula dapat menyelamatkannya dari adzab Allah.

4. Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah di jalan Allah dan juga sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah. Apabila terpenuhi keempat tingkatan tersebut maka ia akan termasuk sebagai orang yang Rabbani. Maka, para Salafush Shalih bersepakat bahwa seseorang tidak dapat disebut sebagai seorang yang Rabbani sampai ia dapat mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ia akan disanjung di sisi para Malaikat-Nya.

Kedua: Jihaadus Syaithaan (Jihad Melawan Syaithan)
Jihad jenis ini ada dua tingkatan:

1. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman.
2. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat.

Tingkatan Jihadusy Syaithan yang pertama akan ada sesudah adanya keyakinan dan pada tingkatan yang kedua akan ada sesudah adanya kesabaran.

Allah al-Haafizh berfirman:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah: 24]

Allah mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya dapat diperoleh dengan sabar dan yakin. Sabar itu akan dapat menolak syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak. Sedangkan yakin akan dapat menolak dari keraguan dan syubhat.

Ketiga: Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin
Pada jihad ini terdapat empat tingkatan:

1. Jihad dengan hati.
2. Jihad dengan lisan.
3. Jihad dengan harta.
4. Jihad dengan jiwa

Jihadul Kuffar (jihad melawan orang-orang kafir) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan tangan (kekuatan), sedangkan Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan (kekuatan) lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73] [21]

Keempat: Jihaad Arbaabizh Zhulm wal Bida’ wal Munkaraat (Jihad Melawan Tokoh-Tokoh yang Zhalim, Pelaku Bid’ah dan Kemungkaran)

Pada jihad ini terdapat tiga tingkatan:

1. Dengan tangan apabila sanggup.
2. Apabila tidak sanggup maka dengan lisan.
3. Apabila tidak sanggup maka dengan hati.

Demikianlah tiga belas tingkatan dari jihad.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah ikut berperang dan ia juga tidak terbetik dalam benaknya untuk berperang, maka matinya termasuk dalam satu cabang kemunafikan.” [22]

Jihad harus dilaksanakan bersama ulil amri, baik ulil amri itu baik ataupun jahat.

PEMBAGIAN JIHAD:

Jihad melawan orang-orang kafir dibagi menjadi 2 (dua):

Pertama: Jihadul Fat-h wath Thalab (jihad ofensif).
Jihad ini memerlukan terpenuhinya syarat-syarat syar’iyyah (syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam), sebagai berikut:
1. Adanya seorang imam (pemimpin).
2. Ada Daulah (negara).
3. Ada ar-Raayah (bendera jihad).

Kedua: Jihadud Difaa’ (jihad defensif, pembelaan terhadap sebuah negeri Muslim).

Jihad ini hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh penduduk negeri yang diserang oleh musuh (agresor). Jika penduduk negeri tersebut lemah, maka mereka harus dibantu oleh penduduk negeri tetangganya yang terdekat.

Jihad syar’i harus memiliki persiapan syar’i dan persiapan itu terbagi menjadi 2 (dua):

Pertama, persiapan pembinaan keimanan sehingga umat dapat menegakkan hakekat ibadah kepada Allah Rabb semesta alam, melatih jiwa mereka di atas Kitabullah, mensucikan hati mereka di atas Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka dapat menolong agama Allah Jalla Jalaluhu dan syari’at-Nya.

Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:

“Dan sungguh Allah pasti menolong siapa saja yang menolong (agama)-Nya.” [Al-Hajj: 40]

Kedua, persiapan fisik, yakni mempersiapkan jumlah pasukan dan perlengkapannya untuk melawan musuh-musuh Allah dan memerangi mereka.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfaal: 60]

Menghidupkan kewajiban jihad dengan segala ketentuan syari’atnya adalah wajib dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Memberikan sifat kepada orang-orang yang menghidupkan jihad yang wajib -menurut ketentuan syari’at- dengan kata-kata terorisme adalah kesalahan yang besar, fitnah, tuduhan yang tidak benar dan kesalahan yang fatal serta kebodohan yang sangat.

Adapun melakukan kekacauan (anarki), menteror orang, melemparkan bom, bunuh diri dengan bom mobil, menakut-nakuti orang yang aman atau orang-orang yang dijaga keamanannya oleh negara, membunuh anak-anak, wanita dan orang tua dengan nama jihad dari agama ini adalah tidak benar, perbuatan ini menentang Allah ar-Rafiiq, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin. Mereka telah keluar dari jalannya ulama yang pemahaman ilmunya sangat mendalam. [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Pasal “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri”. Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Taubah:120-121.
[2]. Lihat ash-Shaaf: 10-13
[3]. Lihat at-Taubah: 19-21.
[4]. Lihat at-Taubah: 52.
[5]. Lihat Ali ‘Imran: 142.
[6]. Lihat Ali ‘Imran: 169-171.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 2785), Muslim (no. 1878), at-Tirmidzi (no. 1619) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2790) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 3024-3025) dari Sahabat ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa Radhiyallahu ‘anhu
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 1663), Ibnu Majah (no. 2799) dan (Ahmad IV/131) dari Sahabat Miqdam bin Ma’di al-Kariba Radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[11]. HR. Bukhari (no. 2792), Fat-hul Baari (VI/13-14) dari Sahabat Anas bin Malik.
[12]. HR. Muslim (no. 1887) dan Tirmidzi (no. 3011) dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu
[13]. HR. Muslim (no. 1886) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu at-Tirmi-dzi (no. 1640), dari Sahabat Anas Radhiyallahu ‘anhu, shahih.
[14]. Lihat Tafsiiruth Thabari (II/200).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma
[16]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (II/236), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[17]. Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 89), Mu-assasah ar-Risalah, cet. I, th. 1420 H.
[18]. Muhimmatul Jihad oleh ‘Abdul Aziz bin Rais ar-Rais, th. 1424 H.
[19]. Lihat Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10-11), Muassasah ar-Risalah, cet. XXV/th. 1412H.
[20]. Lihat QS. Al-Baqarah: 159 dan 174.-Pent.
[21]. Lihat juga QS. At-Tahrim: 9
[22]. HR. Muslim (no. 1910), Abu Dawud (no. 2502), an-Nasa-i (VI/8), Ahmad (II/374), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[23]. Lihat Mujmal Masaailil Iman wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushulil Aqidah as-Salafiyyah point 8 tentang Jihad fii Sabilillaah (hal. 57-60).

JIHAD NABI DI BUMI PALESTINA

Oleh: Syaikh DR Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr

Palestina adalah bumi yang diberkahi, Allah telah menjadikanya sebagai tempat turunnya risalah-risalah (kenabian), tempat berhimpunnya kebudayaan, tempat hijrah para NabiNya. Di Palestina terdapat kiblat pertama dan tempat di isra’kannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di dalamnya pula Dajjal akan binasa melalui tangan Isa Al-Masih ‘Alaihis Salam, dan di Palestina juga Ya’juj dan Ma’juj dibinasakan. Serta di dalamnya pula, bebatuan dan pepohonan akan berkata, “Wahai muslim! Wahai hamba Allah ! Ini ada Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah dia!”, maka Yahudi-pun akan binasa melalui tangan hamba-hamba Allah yang shalih di bumi Palestina.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami seluruh Nabi di Masjid Al-Aqsa, agar Imamah (kepemimpinan) dan siyadah (kekuasaan) untuk Islam pada Masjidil Aqsha tetap langgeng bagi seluruh makhluk. Selama peprputaran sejarah, kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri saling bermusuhan untuk memperebutkannya, mereka saling membinasakan dan mengalahkan dalam rangka menguasainya dan mendudukinya. Dikarenakan Palestina adalah bumi Allah terpilih yang Allah memilihnya sebagai tempat hijrah bagi Kalil (kesayangan)-Nya Ibrahim ‘Alaihis Salam dan KalimNya (Kalim= Orang yang diajak bercakap) yaitu Musa ‘Alaihis Salam, sebagai tempat kelahran Isa ‘Alaihis Salam dan tempat isra’nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di saat kemunculan Islam, Palestina saat itu dibawah kekuasaan imperium Romawi yang salibis paganis. Maka merupakan keharusan mensucikan Palestina dari najis-najis mereka. Nabi telah menulis surat kepada Raja Romawi dan mengutus kepadanya beberapa utusan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerahkan pasukan dalam jumlah besar, dan Palestina ketika itu termasuk salah satu bagian negeri Syam. Belum terjadi saat itu adanya perbatasan wilayah/area yang dibuat oleh perjanjian ‘Saikus Baiku’.

Diantara pasukan-pasukan yang dikirim Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Syam dan Palestina adalah :

Pertama
Pengiriman pasukan ke Mu’tah yang terjadi pada bulan Jumadil Akhir di tahun kedelapan Hijriah, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para pembesarnya ke Mu’tah (suatu tempat di Yordan sekarang yang dekat dengan kota Kurk) suatu desa di negeri Syam, dalam rangka menuntut balas atas pembunuhan kaum muslimin di sana. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kempemimpinan kepada maula beliau, Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika Zaid terbunuh maka Ja’far bin Abi Thalib sebagai penggantinya, jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah sebagai penggantinya”

Merekapun keluar dengan jumlah hampir 3000 pasukan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga turut keluar mengantarkan mereka disebagian jalan, kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di ‘Mi’aan (sebuah kota di selatan Yordan, sejauh 200km dari Amman) lalu sampailah kabar kepada mereka bahwa Raja Romawi Heraklius telah keluar bersama seratus ribu pasukan, disertai sekutunya Malik bin Zafilah dengan seratus ribu pasukan lainnya, dari kaum Nashrani Arab, dari suku Lahmin, Judzam dan kabilah Qudlo’ah dari suku Bahra’, Balla dan Balqoin.

Lantas kaum muslimin bermusyawarah di sana, mereka berkata : “Kita tulis surat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah beliau memerintahkan kita dengan perintahnya untuk berperang ataukah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan bantuan kepada kita”.

Maka berkata Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu : “Wahai kaum ! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian cari ada didepan kalian, yaitu mati syahid, dan kalian tidaklah memerangi manusia karena kuantitas maupun kekuatan ! Akan tetapiu kita memerangi mereka hanyalah semata-mata karena agama ini, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan kita dengannya… maka berangkatlah!!! Karena ada dua kebaikan menunggu kita di sana : yaitu kemenangan atau mati syahid”.

Para sahabatpun menyepakatinya, kemudian mereka bangkit. Ketika kaum muslimin berada diperbatasan Balqo’, mereka bertemu dengan pasukan Romawi dalam jumlah yang besar, maka kaum muslimin berhenti di dekat Mu’tah, dan pasukan Romawi berada di desa bernama Masyarif, akhirnya mereka bertemu dan berkecamuklah peperangan yang dahsyat.

Dan terbunuhlah Amirul Muslimin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu dalam peprangan itu, dan saat itu bendera berada di tangannya, lantas Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengambil bendera tersebut, dan ia turun dari kuda perangnya yang berambut pirang dan menyembelihnya, kemudian ia maju berperang hingga tangan kanannya terputus, lalu diraihnya bendera itu dengan tangan kirinya hingga tangan kirinya terputus pula. Akhirnya ia dekap bendera tersebut dengan dadanya hingga akhirnya ia Radhiyallahu ‘anhu gugur dalam usia 33 tahun menurut pendapat yang benar.

Lalu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, sejenak termenung dan sejurus kemudian ia memantapkan diri dan maju berpeang hingga akhirnya turut terbunuh.

Ada pendapat mengatakan. Sesungguhnya Tsabit bin Arqom yang memegang bendera selanjutnya, dan kaum muslimin menghendakinya memimpin mereka, amun ia enggan, maka Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu yang mengambil bendera, ia mengumpulkan kaum muslimin, kemudian ia membuat tipu daya hingga akhirnya beliau membebaskan kaum muslimin dari musuh mereka, dan Allah membukakan kemenangan melalui kedua tangannya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan hal ini kepada para sahabatnya di Madinah pada hari itu, di saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut satu persatu gugurnya para sahabat yang memimpin pasukan kaum muslimin kepada mereka, dan kedua air mata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercucuran. Akhirnya malam hari tiba dan orang-orang kafir berhenti berperang. Hadits ini terdapat dalam ‘Ash-Shahih’.

Melihat banyaknya jumlah musuh dan sedikitnya jumlah kaum muslimin dibandingkan mereka, namun tidak banyak korban dari kaum muslimin yang terbunuh menurut penuturan ahli sejarah. Mereka tidak menyebutkan nama-nama korban kaum muslimin melainkan hanya sekitar sepuluh orang saja.

Kaum musiminpun akhirnya kembali ke kota Madinah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga mereka dari kejahatan kaum kafir. Segala pujian dan sanjungan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya saja peperangan ini mendasari peperangan melawan Romawi berikutnya dan mempertakuti musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya.

Kedua : Pengiriman Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu
Pengiriman ini merupakan penyempurna pengriman ayahnya, Zaid bin Haritsah sebelumnya, sekaigus membalas pasukan Romawi yang telah membunuh ayahnya di Mu’tah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pengiriman Usamah beserta pasukannya di saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang menyebabkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalk dunia. Dan pasukan Usamah saat itu berkumpul di Jarfi di saat wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Termasuk petunjuk Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai memerangi seseorang sebelum dakwah sampai kepadanya dan mengajaknya kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar mengikuti manhaj ini sebagai pengejawantahan berpegang kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau prakltekan manhaj ini terhadap seluruh kaum yang beliau perangi, baik dari kabilah Arab ataupun raj-raja dan pembesar di zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengirim utusan serta surat-surat mengajak mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan seorangpun dari mereka. Diantaranya adalah :

Surat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Raja Romawi Heraklius. Dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : Bahwasanya Abu Sufyan mengabarkan : “Aku pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam barang sesaat dan hanya ada aku dan beliau”, lantas Abu Sufyan berkata : “Tatkala aku di Syam, datang sebuah surat dari Rasulullah kepada Heraklius, yaitu pemimpin tertinggi Romawi”. Beliau melanjutkan, “Komandan pasukan yang bernama Kalbi datang dengan surat tersebut, kemudian dia serahkan kepada Raja Bashra dan Raja Bashra menyerahkannya keada Heraklius, yang isinya :

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada Raja Romawi Heraklius…

Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk…

Setelah itu :
Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam, masuklah ke dalam agama Islam maka engkau akan selamat, dan niscaya Allah akan membalasmu dengan ganjaran dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka sesungguhnya bagimu dosa seluruh pengikutmu…

“Artinya : Katakannah : Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” [Ali-Imran : 64]

[Disalin dari majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal. 18 – 20. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya].

[Dinukil dari: http://www.almanhaj.or.id]