Daily Archives: Januari 3, 2009

PANDUAN PRAKTIS BERDO’A SESUAI TUNTUNAN NABI

Doa adalah jalan keselamatan, tangga pengantar, sesuatu yang dituntut oleh orang-orang yang berpengetahuan, kendaraan orang-orang shalih, tempat berlindung bagi kaum yang terzalimi dan tertindas, melalui doa nikmat diturunkan dan melaluinya pula murka dihindarkan. Alangkah besar kebutuhan para hamba Allah akan doa, seorang muslim tidak akan pernah bisa lepas dari kebutuhan akan doa dalam setiap situasi dan kondisinya.

Doa adalah obat yang paling mujarab, ia ibarat musuh bagi penyakit, ia senantiasa melawan, menghilangkan atau meringankannya. Begitulah kedudukan doa, seyogyanya bagi seorang muslim untuk mengetahui keutamaan-keutamaan dan adab-adab doa, kita memohon kepada Allah I agar menerima doa dan amal soleh kita.

A. MAKNA DOA

Secara bahasa, berarti meminta atau memohon dengan sepenuh hati.

Sedangkan secara syar’i / istilah, berarti permohonan seorang hamba kepada Allah I dengan sepenuh hati. Dan diartikan pula dengan pensucian, pemujaan dan semisalnya. [lihat syuruthu ad-du’a wa mawani’u al-ijabah, oleh Sa’id bin Ali Al-Qohthoni, hlm. 5].

B. MACAM-MACAM DOA

Doa ada dua macam:

Pertama: Doa Ibadah, yaitu memohon pahala dengan melaksanakan amal-amal kebaikan seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan konsekuensi keduanya, shalat, zakat, puasa, haji, menyembelih dan bernadzar karena Allah. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah-ibadah tersebut dan selainnya berarti ia telah berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan merasa takut terhadap azab-Nya.

Doa semacam ini tidak boleh diarahkan kepada selain Allah I. Barangsiapa mengarahkannya kepada selain Allah maka ia telah jatuh pada kufur akbar yang menyebabkannya keluar dari agama Islam dan masuk ke dalam neraka. Sebagaimana firman Allah I:

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku [berdoa kepada-Ku] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”. [QS. Al-Mu’min / Ghafir: 60]

Dan juga firman Allah I:

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [QS. Al-An’aam: 162-163]

Kedua: Doa mas-alah (permohonan), yaitu seorang hamba memohon apa saja yang bermanfaat seperti datangnya kebaikan dan kemaslahatan atau tercegahnya keburukan dan kemudharatan, dan memohon segala kebutuhan.

Hukum doa semacam ini ada dua:

Pertama: Boleh, apabila seorang hamba memohon kepada orang lain yang masih hidup dan ada di hadapannya dalam hal-hal yang mampu dilakukan oleh orang tersebut, seperti mengatakan kepadanya, ‘Tolong ambilkan air minum untukku, atau berilah aku makanan’ atau perkataan yang semisalnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi r: “Barangsiapa meminta (kepada kalian) dengan menyebut nama Allah maka berilah ia. Barangsiapa memohon perlindungan (kepadamu) dengan menyebut nama Allah maka lindungilah ia. Barangsiapa mengundang kamu maka penuhilah undangannya,…dst.” [HR. Abu Daud, an-Nasa-i, dan Ahmad]

Kedua: Haram, yaitu apabila seorang hamba memohon kepada makhluk dalam hal-hal yang tidak mampu dilaksanakan kecuali oleh Allah I semata, seperti mengatakan, ‘Wahai tuanku, atau wahai syaikh/kiyai, atau wahai pembesar jin, sembuhkanlah penyakitku, lapangkanlah rezkiku, kembalikan barang yang telah hilang dariku, berilah aku jodoh dan anak, selamatkan aku dari bencana’, maka ini adalah kekufuran dan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, walaupun makhluk yang diminta doa tersebut masih hidup dan ada dihadapan kita. Allah I berfirman:

“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.[QS. Al-An’aam: 17]

Dan firman-Nya pula (yang artinya):

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu Termasuk orang-orang yang zalim”. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Yunus: 106-107]

[Lihat pula: QS. Al-A’raaf: 194, 197; Al-Hajj: 11-13; Fathir: 13-14; Al-Ahqaaf: 5-6; Al-Maidah:72; A-Nisa’: 48, 116; Al-An’aam: 88; Asy-Syu’ara: 213; Az-Zumar: 65-66].

C. KEUTAMAAN DOA:

Doa memiliki keutamaan dan faedah yang tak terhitung, kedudukannya sebagai satu bentuk ibadah cukup menjadi bukti keutamaanya, bahkan ia adalah ibadah itu sendiri, sebagaimana yang sabdakan Rasulullah r:

اَلدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ

Doa adalah ibadah.” (HR: Tirmizi, dishahihkan syaikh Al-Albani). Meninggalkan doa adalah bentuk menyombongkan diri dari menyembah Allah I, sebagaimana Allah I berfirman:

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”. [QS. Al-Mu’min/Ghafir: 60]

Dan doa itu menunjukan tawakal kepada Allah I, hal itu dikarenakan orang yang berdo’a dalam kondisi memohon pertolongan kepada-Nya, menyerahkan urusan hanya kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya. Sebagaimana doa juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allah I dan bentuk pemenuhan akan perintah-Nya. Allah I berfirman:

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [QS. Al-Mu’min/Ghafir: 60]

Doa juga merupakan senjata yang kuat yang digunakan seorang muslim dalam mencari kebaikan dan menolak kemadharatan, Rasulullah r bersabda:

من فُتح له منكم باب الدعاء فتحت له أبواب الرحمة، وما سُئل الله شیئاً يُعطى أحب إلیه من أن يُسأل العافیة، إن الدعاء ينفع مما نزل وما لم ينزل، فعلیكم عباد الله بالدعاء

“Barang siapa diantara kalian telah dibukakan baginya pintu doa, pasti dibukakan pula baginya pintu rahmat, dan tidaklah Allah I diminta sesuatu yang Dia berikan lebih Dia senangi dari pada diminta kekuatan, sesungguhnya doa itu bermanfaat baik terhadap apa yang terjadi maupun belum terjadi, maka hendaklah kalian berdoa.” (HR: tirmizi, dihasankan oleh Al-Albani).

Doa adalah senjata yang digunakan para nabi dalam menghadapi situasi-situasi sulit, begitu pun nabi Muhamad r dalam perang badar, ketika ia melihat jumlah kaum musyrikin sebanyak seribu sedang pasukan islam tiga ratus Sembilan belas, ia segera menghadap kiblat seraya mengangkat kedua tanganya berdoa:

Ya Allah wujudkanlah untuk kami apa yang engkau janjikan, ya Allah

berikanlah kepada kami apa yang engkau janjikan, ya Allah jika sekumpulan kaum muslimin ini binasa, maka tidak ada yang akan menyembah engkau di muka bumi ini.” Rasulullah r terus melantunkan doa seraya membentangkan kedua tanganya menghadap kiblat hingga selempangnya jatuh, maka datanglah Abu Bakar mengambil selempang Rasulullah r dan meletakanya di atas pundaknya dan menjaganya dari belakang dan berkata: wahai nabi Allah, doa engkau kepada Tuhanmu sudah cukup, karena Dia pasti akan mewujudkan apa yang Dia janjikan untukmu.” [HR: Muslim]

Demikian pula nabi Ayub u, ia menggunakan senjata doa ketika mengalami berbagai macam cobaan, terisolir dari manusia, tidak ada lagi yang menyayanginya selain istrinya sendiri, dalam kondisi seperti itu ia tetap bersabar dan mengharap ridho Allah I, dan ketika cobaan itu telah berlarut lama, ia berdoa:

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah”. [QS: Al-Anbiya’: 83-84]

Di samping itu doa juga dapat menghilangkan kegelisahan dan kesedihan, menjadikan hati lapang, mempermudah urusan, dalam doa seorang hamba bermunajat kepada Tuhannya, mengakui kelemahan dan ketidak berdayaannya, mengungkapkan rasa butuhnya kepada Pencipta dan Pemiliknya, doa juga sarana untuk menghindari murka Allah I, sebagaimana sabda Rasulullah r:

مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَیْهِ

“Barang siapa tidak mau meminta kepada Allah, niscaya Dia akan marah kepadanya” ( HR: Ahmad, Tirmizi, dihasankan syaikh Al-Albani).

Alangkah indahnya ungkapan seorang penyair:

Janganlah engkau meminta manusia satu kebutuhan,

Mintalah kepada yang pintu-Nya tak pernah tertutup.

Allah marah jika engkau tidak meminta-Nya,

Sedang manusia justru marah ketika diminta.

Doa juga menjadi senjata bagi orang-orang yang terzalimi, ia adalah tempat berlindung bagi orang-orang lemah yang putus harapan, tertutup segala pintu di hadapanya. Imam Syafi’i mengatakan:

“Apakah engkau meremehkan doa dan memandangnya sepele,

Padahal engkau tidak tahu apa yang diperbuat doa.

Ia adalah anak panah-anak panah malam yang tak kan meleset,

Akan tetapi ia memiliki masa dan masa itu ada penghujungnya”.

D. SYARAT-SYARAT TERKABULNYA DOA

Banyak orang yang berdoa melakukan perbuatan yang menyebabkan doa mereka ditolak dan tidak dikabulkan, karena kebodohan mereka tentang syarat-syarat doa, padahal apabila tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut, maka doa tersebut tidak dikabulkan.

Adapun syarat-syarat yang terpenting antara lain:
1. Ikhlas

Sebagaimana firman Allah
I:

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya“. [QS. Al-Mu’min/Ghafir: 14]

Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdoa hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka.(Tafsir Ibnu Katsir 4/73)

Termasuk syarat terkabulnya doa adalah tidak beribadah dan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Jika seseorang menujukan sebagian ibadah kepada selain Allah baik kepada para Nabi atau para wali seperti mengajukan permohonan kepada mereka, maka doanya tidak terkabulkan dan nanti diakhirat termasuk orang-orang yang merugi serta kekal di dalam Neraka Jahim bila dia meninggal sebelum bertaubat.

2. Al-Ittiba’

Yaitu Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad r dalam segala bentuk ibadah, dan ini merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad r maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Karena sesungguhnya Allah I telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r dalam segala urusan agama, dengan firman-Nya :

Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]

Dan Allah I berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]

Dan Rasulullah r juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau r:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

3. Tidak Berdoa Untuk Sesuatu Dosa atau Memutuskan Silaturrahmi

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا

“Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah r bersabda: “Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan dikabulkan oleh Allah salah satu dari tiga ; Akan dikabulkan doanya, atau ditunda untuk simpanan di akhirat atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”.[Musnad Ahmad 3/18. Imam Al-Mundziri mengatakannya Jayyid (bagus) Targhib 2/478].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud “tidak berdoa untuk suatu yang berdosa” artinya berdoa untuk kemaksiatan suatu contoh : “Ya Allah takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan”, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh, atau “Ya Allah berilah aku rizki untuk bisa minum khamer” atau “Ya Allah pertemukanlah aku dengan seorang wanita cantik untuk berzina”. Atau berdoa untuk memutuskan silaturrahmi suatu contoh : “Ya Allah jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudaraku” atau doa semisalnya. Doa tersebut pengkhususan terhadap yang umum. Imam Al-Jazri berkata, bahwa memutuskan silaturahmi bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.

4. Hendaknya Makanan, minuman dan Pakaiannya dari yang Halal dan Bagus
Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r menyebutkan:

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Artinya : Seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana doanya bisa terkabulkan?.” [Shahih Muslim, kitab Zakat bab Qabulus Sadaqah 3/85-86].

Imam An-Nawawi berkata bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, bersilaturrahmi dan yang lainnya.

Pada zaman sekarang ini berapa banyak orang yang mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang haram baik dari harta riba, perjudian atau harta suap atau yang lainnya. [Syarh Shahih Muslim 7/100].

5. Tidak Tergesa-gesa Dalam Menunggu Terkabulnya Doa
Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r bersabda:


يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ فَيَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّى فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِى

“Artinya : Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan: Saya telah berdoa kepada Tuhanku tetapi belum dikabulkan”. [Shahih Al-Bukhari, kitab Da’awaat 7/153. Shahih Muslim, kitab Do’a wa Dzikir 8/87].

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Yang dimaksud dengan sabda Nabi r : “Saya berdoa tetapi tidak dikabulkan”, Ibnu Baththaal berkata bahwa seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka Alllah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Dia dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya. [Fathul Bari 11/145].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa Imam Al-Madzhari berkata : Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa tersebut dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya, sehingga segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan mungkin terjadi, atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa sebab Allah sangat senang terhadap orang yang rajin berdoa karena doa memperlihatkan sikap rendah diri, menyerah dan merasa membutuhkan Allah. Orang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan segera dikabulkan doanya. Maka seharusnya setiap kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan berdoa. [Mir’atul Mafatih 7/349].

Syubhat:
Allah I berfirman:

“Artinya : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [QS. Al-Mu’min / Ghafir: 60].

Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, kalau seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjawab syubhat ini dengan mengatakan bahwa setiap orang yang berdoa pasti terkabulkan tetapi dengan bentuk pengkabulan yang berbeda-beda, terkadang apa yang diminta terkabulkan, atau terkadang diganti dengan sesuatu pemberian lain, sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Shamit t bahwasanya Nabi r bersabda:
“Artinya : Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”. [Fathul Bari 11/98].

6 & 7. Hendaknya Berdoa dengan Hati yang Khusyu’ dan Yakin bahwa Doanya Pasti akan Dikabulkan
Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَه

“Mohonlah kepada Allah sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai”. [HR. Tirmidzi 5/517 nomer hadits: 3479]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi : ” dan kalian yakin akan dikabulkan”, adalah pengharusan artinya berdoalah sementara kalian bersikap dengan sifat yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Imam Al-Madzhari berkata bahwa hendaknya orang yang bedoa merasa yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya sebab sebuah doa tertolak mungkin disebabkan yang diminta tidak mampu mengabulkan atau tidak ada sifat dermawan atau tidak mendengar terhadap doa tersebut, sementara kesemuanya sangat tidak layak menjadi sifat Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Tahu dan Maha Kuasa yang tidak menghalangi doa hamba-Nya. Jika seorang hamba tahu bahwa Allah tidak mungkin menghalangi doa hamba-Nya, maka seharusnya kita berdoa kepada Allah dan merasa yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah.

Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa kita dianjurkan agar kita selalu yakin bahwa doa kita akan terkabulkan dan keyakinan itu akan muncul jika doa pasti dikabulkan, sementara kita melihat sebagian orang terkabul doanya dan sebagian yang lainnya tidak terkabulkan, bagaimana kita bisa yakin ?

Jawab.
Orang yang berdoa pasti terkabulkan dan pemintaannya pasti diberikan kecuali bila dalam catatan azali Allah doa tersebut tidak mungkin dikabulkan akan tetapi dia akan dihindarkan oleh Allah dari musibah semisalnya dengan permohonan yang dia minta sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits. Atau diberi ganti yang berupa pahala dan derajat di akhirat. Karena doa adalah ibadah dan barangsiapa yang beribadah dengan baik, maka tidak mungkin akan dihalangi dari pahala.

Yang dimaksud dengan sabda Nabi : “dari hati yang lalai” adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya. [Mir’atul Mafatih 7/360-361].

E. ADAB-ADAB BERDO’A:

Adab-adab berdoa banyak sekali, semuanya dianjurkan untuk dilaksanakan saat berdoa, agar ia menjadi penguat untuk dikabulkannya doa, diantara adab-adab itu adalah:

1- Membuka doa dengan hamdalah dan pujian bagi Allah I dan shalawat atas nabi r.

Sebagaimana hadits fadhalah bin Ubaid t: Tatkalah Rasulullah r duduk, tiba-tiba masuk seorang laki-laki lalu berdoa: “Allahumaghfirli Warhamni (Ya Allah, ampunilah dosaku dan rahmatilah diriku).” Maka Rasulullah r bersabda: “Kamu tergesa-gesa wahai orang yang berdoa, jika kamu berdoa, maka duduklah, lalu ucapkan pujian kepada Allah dengan sesuatu yang layak bagi-Nya, dan bershalawatlah kepadaku kemudian berdoalah .” Kemudian ada laki-laki lain berdoa setelah itu, ia mengucapkan pujian kepada Allah dan bershalawat kepada nabi, maka nabi bersabda kepadanya:” Wahai orang yang berdoa, berdoalah engkau niscaya dikabulkan” (HR: Tirmizi, dishahihkan syaikh Al-Albani).

2- Mengakui dosa

Mengakui dosa menunjukan kesempurnaan ubudiyah kepada Allah I, sebagaimana doa Yunus u:

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” [Al-Anbiya: 87]

Yang dimaksud dengan Keadaan yang sangat gelap ialah didalam perut ikan, di dalam laut dan di malam hari.

3- Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan berketetapan hati dalam Meminta,

Sabda Rasul r:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيِعْزِمِ اْلمَسْأَلَةَ، وَلاَ يَقُوْلَنَّ : اَللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ، فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ

“Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka hendaknya berketetapan hati dalam meminta, dan janganlah mengatakan: Ya Allah jika engkau mau berilah aku,karena sesungguhnya tidak ada yang bisa memaksa Allah.” ( HR:Bukhari Muslim).

4- Berwudhu, menghadap kiblat dan mengangkat tangan ketika berdoa

Hal itu akan lebih mendatangkan kekhusyu’an dan kejujuran dalam menghadap. Abu Abdillah bin Zaed mengatakan: “Nabi r keluar ke tempat shalat untuk minta hujan, lalu beliau berdoa dan meminta hujan, kemudian menghadap kiblat dan membalik selempangnya.”

Dan sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy’ari t, tatkala Rasulullah r selesai dari perang Hunain – Abu Musa mengatakan: Beliau meminta air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tanganya seraya berdoa:” Ya Allah ampunilah Ubaid bin Amir.” Dan aku melihat putih ketiaknya. [HR: Bukhari Muslim].

5- Merendahkan suara dalam berdoa

Allah r berfirman:

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [QS. Al-A’raaf: 55]

أَيُّهَا النَّاسُ، اِرْبِعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًاً، إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعاً قَرِيْباً وَهُوَ مَعَكُمْ

“Wahai manusia, sayangilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak pula yang jauh, kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan Dekat, dan Dia selalu menyertaimu” ( HR: Bukhari)

6- Tidak membuat-buat kalimat bersajak

Hal itu karena orang yang berdoa harus dalam kondisi merendah, sedang perbuatan membuat-buat seperti itu tidak pantas. Ibnu Abas t pernah menyampaikan nasehat kepada salah seorang sahabat, ia mengatakan: “Jauhilah sajak dalam doa, sesungguhnya aku mendapatkan Rasulullah r dan sahabatnya menjauhi hal itu.”

7- Memilih waktu-waktu yang dianjurkan dan saat-saat yang mulia

Seperti saat-saat setelah shalat, saat azan, antara azan dan qamat, sepertiga malam terakhir, hari jumat, hari arafah, saat turun hujan, saat sujud, saat berangkat menyerbu musuh dalam jihad fisabililah, dll.

8- Tidak mendoakan jelek kepada diri, keluarga dan harta

Nabi r bersabda:

لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوْا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Janganlah kalian mendoakan jelek terhadap diri kalian, jangan pula terhadap anak-anak dan harta kalian, jangan sampai kalian mendapati satu saat Allah diminta satu permintaan lalu Dia mengabulkan untuk kalian“ ( HR: Muslim ).


Wallahu’alam bishshawab

Makalah ini dinukil dari buletin dakwah al-ittiba’ edisi 22 tahun II 1429 H / 2008 M yang diterbitkan oleh Yayasan Dakwah MUTIARA HIKMAH, JL. Bedrek – Tlogorandu Rt. 05 Rw. 03 Juwiring – Klaten 57472, HP. 081548402244

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH YANG SEBENARNYA?

Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?

Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah I sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah r empat belas abad yang lalu. Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah r kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka (yang artinya): “Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain –semoga Allah I merahmati keduanya-. Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah I Maha Mempunyai Hikmah di balik hal tersebut. Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan –hafidzahullahu– menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaqcet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata :“(Terjadinya perpecahan dan perselisihan) merupakan hikmah dari Allah guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme. Allah I berfirman (artinya): “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3). Dan Allah I berfirman :

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.(QS. Hud : 10 / 118-119) Dan Allah I Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah : قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah. Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud t berkata: “Pada suatu hari Rasulullah menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata: “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )”. [Diriwayatkan oleh: Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, dan selainnya. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain]. Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi : Pertama : Definisi Sunnah. Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas. Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum. Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama ahli hadits, mereka mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pent.) maupun sifat lahir dan akhlak. Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat. Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1). Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwafaqot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi r yang sebelumnya hal tersebut mempunyai dalil dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”. Berkata Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”. Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ulama.

Kedua : Makna Ahlus Sunnah. Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah). Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah r (Al-Hadits) dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”. Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat –radhiyallahu ‘anhum– dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi –semoga Allah merahmati mereka semua-”. Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah I dan Rasul-Nya r berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .

Ketiga : Definisi Jama’ah. Jama’ah secara bahasa diambil dari kata AlJama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.” Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah r, di antara hadits-hadits itu adalah : Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas Dua : Wasiat Nabi r kepada Hudzaifah t dalam hadits riwayat Bukhori-Muslim , beliau bersabda: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .” Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas t riwayat Bukhori-Muslim Rasulullah r bersabda : فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً “Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah”. Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah r bersabda : يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ “Tangan Allah di atas Al-Jama’ah”. Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran : Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib. Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah r menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama. Berkata Imam Al-Bukhori menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”. Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan ulama hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”. Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”. Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh. Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary. Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby. Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir. Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir. Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah. 2. Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya. 3. Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara : Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya . Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah r kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran. Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud t: “Al-Jama’ah adalah apa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”. Berkata Abu Syamah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama, yakni Nabi r dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.” [Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23]. Kesimpulan : Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat.